Rabu 21 Jan 2015 10:32 WIB

Bila Zaman Mengibliskan Islam Politik

Politikus Partai Demokrat, Khatibul Umam Wiranu.
Politikus Partai Demokrat, Khatibul Umam Wiranu.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah/Wartawan senior Republika

Pada sebuah pertemuan istri pejabat negara di awal tahun 1950-an, yang di antaranya dihadiri Solihah Wahid (istri menteri agama KH Wahid Hasyim) dan Poppy Syahrir (istri perdana menteri Syahrir) ada sebuah peristiwa yang patut dikenang sampai sekarang. Hal itu adalah ketika Solihah 'curhat' kepada Poppy.

Kisah itu kembali dituturkan politisi muda Nahdliyin, Khatibul Umam Wiranu. Kata Umam isinya membuat hati 'ngenes' dan menjadi pertanda betapa dalamnya sikap 'menyepelekan' kekuatan Islam meski kemerdekaan sudah diraih. Padahal, kontribusi umat Islam adalah hal utama dalam perjuangan meruntuhkan kekuasaan kolonoial.

"Pada saat itu, ada pertanyaan 'ringan' dari Ibu Solikhah Wahid kepada Ibu Poppy Syahrir: Bu Poppy ini bagaimana yah ... dulu umat Islam berjuang paling depan di dalam memperjuangkan dan membela kemerdekaan, tapi kok wakil-wakil umat Islam di era kemerdekaan malah sedikit?" ujar Umam.

Mendengar pertanyaan dari istri tokoh utama Nahdlatul Ulama, maka Poppy pun kemudian menjawab. Katanya: "Yo wis mengkono to Mbak ... wong bodo yo panganane wong pinter, wong mlarat yo panganane womg sugih (Ya memang begitulah Mbak ... orang bodoh ya memang menjadi makanannya orang pintar, orang miskin ya menjadi makanannya orang kaya—Red)," sahut Poppy.

Solihah pun terkejut mendengar jawaban itu. Sebagai putra kiai berpengaruh dan juga istri tokoh NU KH Wahid Hasyim, jelas paham akan arah jawaban. Ia paham sekali bahwa saat itu waga Nahdliyin masih belum terdidik secara modern dan juga hidup dalam kemiskinan. Maka, jawaban itu menggores hatinya sebab apa yang dilakukan oleh umat Islam dianggap sepele. Meski berjasa besar dan punya umat yang besar, posisinya tak diperhitungkan.

"Jawaban Ibu Poppy menggores hatinya ibunda Gus Dur itu. Maka tak aneh, cerita itu kemudian dituturkan kepada anak-anaknya, termasuk kepada Gus Im yang lahir beberapa bulan setelah ayahanda wafat. Memang kisah ini sempat dipesankan almarhumah agar tidak diceritakan ke publik. Tapi, kini sudah boleh diketahui karena zaman sudah berubah," kata Umam kembali.

Menurut Umam, memahami makna kalimat itu memang kemudian terasa bahwa semua itu tidak datang dari sikap yang spontan. Makna di balik kalimat yang ada pada jawaban Ibu Poppy itu sangat lah dalam. Paling tidak secara peyoratif menandakan bahwa ada pihak lain yang harus tersingkir karena selama ini lemah dan terpinggirkan meski 'hawa baru' udara kemerdekaan sudah datang.

                          *******

Namun, Umam mengakui, sikap dan pemikiran ala Snocuk Hurgronje (bahwa Islam ibadah saja yang diperolehkan dan Islam politik harus dimatikan), terus hidup sampai hari ini. Bahkan, kini keadaan umat Islam dan negara ini makin bertambah berat dan rumit dengan datangnya arus besar liberalisasi politik, liberalisasi ekonomi, dan liberalisasi agama.

''Akibat situasi ini, jejak sejarah pendirian bangsa di masa lalu tidak menjadi hal yang penting karena siapa yang bisa berkuasa hari ini adalah pihak yang kini punya modal (kapital). Kekuatan itu menguasai media massa, pendidikan, hingga bisnis. Tiga hal inilah yang berperan dalam mengikis ideologi Islam atau Islam politik,'' kata Umam.

Namun, lanjut Umam, di antara tiga liberalisasi itu, liberalisasi agama inilah yang paling diwaspadai sebab akan mengikis akidah Islamiah. Posisi umat Islam akan kembali ke masa kolonial. Islam yang akan berlaku adalah Islam apolitis atau hanya 'Islam ubudiyah'. ''Istilahnya, sudahlah kalian menjadi Islam yang damai dengan maksud Islam yang bisa berdamai dan ramah dengan pemilik kapital!''

Padahal, di dalam Islam tidak begitu. Misalnya, tujuan Islam dalam soal berzakat adalah agar kapital tidak hanya berputar-putar pada kelompok tertentu (orang kaya saja). ''Nah, dalam hal ini selama agama kemudian hanya dijadikan alat justifikasi kepada para pemilik modal, maka pada saat itulah agama sudah tumpul. Nah, target itulah yang tampak terasa disasar oleh pihak yang ingin menghapus kekuatan Islam politik. Dan, secara sadar saya melihat kecenderungan itu dengan melakukan penghapusan Islam politik. Dan inilah yang dimaksud dengan 'perang ideologi' itu,'' katanya.

Sementara itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fachri Hamzah mengatakan, kini memang masih terjadi 'miskomunikasi' yang serius antara mereka yang disebut kelompok Islam politik dan mereka yang katakanlah non-Islam politik (bukan Islam). Namun, situasi ini sekarang lebih mencair bila dibandingkan dengan situasi pada zaman dahulu.

Bila kemudian menyinggung dari mana akar kebencian terhadap Islam politik, Fachri menyatakan berasal dari banyak sebab. Namun, salah satunya adalah dimulai dari ideologisasi bahwa konsep negara Islam itu berbahaya. Selain itu, juga muncul dari sikap bahwa ketika seseorang sudah 'mendeklarasikan' sebagai sepenuhnya Islam, maka dia tak boleh melakukan kesalahan.

''Stereotip ini dalam dunia modern sekarang malah sudah begitu dalam. Bukan hanya itu, bahkan dapat dikatakan mulai aneh dalam pengertian kalau kita menjadi 'orang sekuler' tidak perlu banyak membela diri ketika melakukan kesalahan. Namun, ketika Anda menjadi orang Islam, maka Anda harus membela diri sebagai orang yang plural atau open minded (bersikap terbuka),'' katanya.

Meski begitu, tegas Fachri, ke depan tetap masih ada 'jalan lain' untuk ke luar serta melampaui kondisi itu semua. Caranya adalah dengan terus mengasah kecerdasan, ketulusan, dan kapasitas. Bila ini dilakukan, semua 'miskomunikasi' yang ada akan lenyap dengan sendirinya.

Pada sisi lain, kata Fachry, menjadi aneh dan lucu bila Islam politik dimatikan. ''Kalau kami tak boleh bawa agama ke politik, lalu apa yang akan kami bawa? Itulah pertanyaan balik kepada mereka ketika kami ditanya jangan bawa-bawa agama ke politik. Jadi, kalau ada dua tempat yang satu masjid dan yang satu night club, maka kalau saya jelas saya akan bawa politik ke masjid. Jadi, itu yang rumit dicerna dari pikiran mereka yang menganut paham sekularis itu.''

                            *****

Lalu, apakah hilangnya 'miskomunikasi' dan kecurigaan sudah ada contohnya pada masa sekarang? Menjawab pertanyaan ini, Fachri mengatakan telah terbukti bisa dilakukan. Contoh nyata tersebut sekarang terjadi di Turki. Islam politik ternyata bisa membuat negara makmur dan sejahtera. Ideologi sekularisme dan militerisme ternyata terbukti bukan menjadi jalan ke luar bagi negara-negara yang punya umat Islam yang besar.

''Di Turki orang kan disuruh memilih sekularisme-militer atau Islamisme ala Erdogan. Ternyata, rakyat di sana memilih yang kedua. Ya, ini karena rakyat di sana melihat Islam politik sudah sukses melampaui itu semua. Melampuai prasangka dan fobia. Dan dalam fakta ini, jelas Turki telah mendapatkan kesuksesan. Dan bila sudah sampai ke sana, maka sesuai dengan peribahasa dari Inggris: Sukses, maka itu tak perlu lagi diperdebatkan!'' kata Fachry menjelaskan.

Terkait dengan 'kebencian' terhadap Islam politik, maka pada awal abad XIX ada sebuah syair yang ditulis penghulu Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Haji Pinang. Ia menulis syair ini untuk membalas kecaman pemimpin gerakan Rifa'iyah (KH Ahmad Rifa'i) yang dengan terbuka mengutuk perilaku pejabat pribumi yang menjadi 'kaki tangan' pemerintah kolonial.

Dan dalam syair ini, terasa sekali betapa kental tingkat kebencian pejabat kolonial pada gerakan Islam politik. Karena mengobarkan perlawanan kepada kolonial Belanda, sang penghulu mengibaratkan sang pemimpin gerakan Islam politik KH Rifa'i dari Pondok Pesantren Kalisalak sebagai iblis!

Tuture gurunireka

si setan ing Kalisalak

iya iku eblis katon

den age mrene praptaa

sun kucire pisan

eblis ing salugunipun

si Ripangi Kalisalak...

(Katakanlah pada gurumu,

si setan dari Kalisalak,

itulah iblis yang tampak,

cepat suruh kemari,

akan kukucir (ikat kepalanya) sekalian

sebab dialah iblis yang sesungguhnya

si Rifa'i dari Kalisalak)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement