REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG –- Maraknya kasus korupsi di Kabupaten Bandung, membuat efisiensi anggaran yang dilakukan usai mendapat evaluasi dari Gubernur, dinilai akan terhambat oleh perilaku korup dari pejabat –pejabat ‘nakal’ di lingkungan Pemkab maupun dewan.
Karena itu, efisiensi anggaran jangan hanya menekan pada belanja Negara, tapi juga harus dari pejabatnya sendiri.
Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Forum Diskusi Anggaran (FDA) Kabupaten Bandung, Deni Abdulah mengatakan, proporsi anggaran Pemkab Bandung, masih jauh dari ideal. Sebab, jika berbicara efisiensi, bukan hanya sekedar menekan pengeluaran saja. Tapi bagaimana pengeluaran yang ada berdampak maksimal dalam pelayanan publik. Serta bisa mensejahterakan masyarakat.
‘’Harus diingat, banyaknya kasus korupsi itu menandakan anggaran untuk rakyat tidak maksimal. Karena korupsi itu bukan efisiensi,’’ katanya, Rabu (21/1).
Deni menambahkan, meski perencanaan bagus namun lemah dalam pengawasan, maka berpotensi terjadi banyak penyimpangan. Justru, lanjut dia, yang harus bertanggungjawab dalam pengawasan terhadap penggunaan anggaran adalah Bupati, para pimpinan Organisasi Pimpinan Daerah (OPD) dan inspektorat.
‘’Jangan lupa, DPRD juga bersama-sama harus bertanggungjawab. Karena selama ini tidak pernah DPRD memanggil eksekutif untuk klarifikasi soal berbagai kasus korupsi di Kabupaten Bandung,’’ jelasnya.
Lemahnya pengawasan dari dewan tersebut, kata dia, karena rata-rata anggota dewan ini lemah dalam mencermati hal-hal seperti itu. Seperti saat munculnya anggaran yang tiba-tiba tanpa mekanisme. Sehingga berpotensi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang janggal.
‘’Sehingga pada akhirnya, kegiatan seperti itu berpotensi tidak akuntable. Karena dari awal saja sudah terjadi penyimpangan,’’ tambahnya.