Selasa 20 Jan 2015 11:08 WIB

Catatan Kritis 100 Hari Poros Maritim (1)

 Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Jusuf Kalla mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/11) malam. (Republika/ Yasin Habibi)
Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Jusuf Kalla mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/11) malam. (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Bayu A. Yulianto

Menjelang seratus hari Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintah, keraguan mulai muncul di mata publik. Keraguan yang menyeruak sejak diumumkannya Kabinet Kerja yang menuai kontroversi, dilanjutkan dengan tidak adanya kebijakan seratus hari yang bisa menjadi tolok ukur dari keseriusan pemerintah dalam menunaikan janji-janji politiknya.

Hal itu juga berlaku dalam konteks mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Politik Seratus Hari Pertama

Meskipun tidak ada aturan yang mengharuskan seorang presiden menyusun langkah-langkah khusus selama seratus hari pertama jabatannya, tetapi apa yang telah dilakukan Presiden Roosevelt dengan konsep New Deal-nya pada tahun 30an, telah terlanjur menjadi ukuran publik dalam menakar efektifitas sebuah pemerintahan, tak terkecuali di Indonesia.

Kebijakan-kebijakan seratus hari pertama Roosevelt dalam membangun Amerika dari keterpurukan ekonomi di bawah pemerintahan sebelumnya, mendapat sorotan yang sangat luas dari media massa. Dengan menunjukkan perbedaan orientasi kebijakan dari pendahulunya, Roosevelt mampu menjadikan seratus hari pertamanya sebagai harapan baru bagi publik. Seratus hari pertamanya telah menjadi energi utama yang menggerakkan seluruh komponen negara dalam menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi jangka panjangnya.

Apa yang dilakukan Roosevelt telah menjadi catatan sejarah penting bagi publik dan politisi dalam menilai keseriusan sebuah rezim untuk menjalankan agenda perubahan. Sehingga, kegagalan menerjemahkan janji-janji kampanye pada seratus hari pertama, berpeluang membebani perjalanan pemerintahan selanjutnya.

Tak terkecuali di Indonesia, konsep seratus hari pertama telah menjadi semacam kesadaran publik untuk menilai keseriusan presiden dalam merealisasikan visi dan misinya. Dalam konteks poros maritim, apa saja sebenarnya yang bisa dijadikan sebagai ukuran untuk menilai kinerja seratus hari pertama sang presiden dan mentri-mentrinya.

Pilar Poros Maritim

Lima pilar poros maritim yang sempat diungkapkan Presiden Jokowi di sela-sela 9th East Asian Summit di Myanmar bulan November 2014 yang lalu, yaitu: membangun budaya maritim Indonesia, membangun kedaulatan pangan laut, pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, kerjasama luar negeri dengan menerapkan diplomasi maritim, dan pembangunan kekuatan pertahanan maritim, kelihatannya belum menampakkan tanda-tanda yang jelas.

Hal ini dibuktikan dengan minimnya inisiatif yang dilakukan oleh kabinet kerja untuk memulai ke arah hal itu.

Proyek-proyek infrastruktur besar, semisal: pembangunan serta revitalisasi pelabuhan, modernisasi industri galangan kapal nasional, pembangunan tol laut dengan mengerahkan armada kapal dagang ke seluruh penjuru nusantara, modernisasi sentra-sentra perikanan tangkap dan budidaya di desa-desa pesisir Indonesia, atau kebijakan lain seperti pengembangan alutsista TNI Angkatan Laut untuk menjaga kedaulatan negara, dan pembentukan Indonesia Coast Guard, adalah target-target jangka panjang yang dapat diterjemahkan sebagai lompatan-lompatan besar dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Tentu saja semua hal itu tidak mungkin dilakukan dalam waktu seratus hari pemerintahan. Oleh karenanya, dibutuhkan ukuran-ukuran yang lebih nyata yang dapat digunakan untuk menilai, apakah benar kebijakan pemerintah sekarang memang sedang menuju ke arah itu.

Jika merujuk pada apa yang sedang dikerjakan, atau yang sudah diucapkan oleh pembantu-pembantu presiden yang secara khusus diberi amanah untuk mewujudkan poros maritim, nampaknya belum ada satupun kementrian yang berada di bawah koordinasi Kemenko Kemaritiman yang menunjukkan sinyal-sinyal positif bahwa pembangunan kemaritiman yang dicita-citakan oleh Jokowi itu bakal segera dilaksanakan.

Kementrian ESDM, KKP, Kementrian Pariwisata, dan Kementrian Perhubungan, yang berada di bawah koordinasi Kemenko Kemaritiman nampaknya belum mengerti bagaimana menerjemahkan gagasan Poros Maritim dalam ukuran-ukuran yang sifatnya strategis.

Alhasil, mereka tidak mampu merawat harapan publik sepanjang seratus hari mereka bekerja. Secara teoritis, ini akan menjadi beban tersendiri dari pemerintahan Jokowi-JK ke depannya.

Penulis adalah pengajar Sosiologi Maritim di Program Studi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan (Unhan).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement