Ahad 18 Jan 2015 08:41 WIB

KPID Jabar: Pelanggaran Penyiaran Meningkat 100 Persen

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agung Sasongko
Petugas mengoprasikan ruang server utama utama penyiaran salah satu stasiun tv, Jakarta, Kamis (12/6).
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Petugas mengoprasikan ruang server utama utama penyiaran salah satu stasiun tv, Jakarta, Kamis (12/6).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penyelenggara penyiaran, masih banyak yang melanggar. Fakta yang terdapat di KPID Jabar menunjukkan, jumlah indikasi temuan pelanggaran isi siaran pada 2014 meningkat hampir 100 persen dibandingkan 2009.

Sepanjang 2014, pemantau isi siaran KPID Jabar membukukan 1381 indikasi. Sedangkan pada 2013, mereka membukukan 1600 indikasi. Padahal, pada 2009, jumlahnya tidak sampai 200 indikasi.

Menurut Komisioner KPID Jabar yang juga Koordinator Bidang Isi Siaran, Nursyawal, selama 2014 pelanggaran terbanyak dalam isi siaran adalah gambar-gambar berisi kekerasan. Diikuti oleh gambar-gambar yang melanggar norma susila, alias mengeksploitasi seksualitas.

Nursyawal mengatakan, pelanggaran tersebut tidak bisa dihentikan meskipun teguran KPID Jabar sejak 2009 hingga 2014 terus meningkat. Yakni, dari 20 teguran pada 2009 menjadi 148 teguran pada 2014.  ''Jadi surat teguran yang kami layangkan meningkat 100 persen,'' katanya.

Namun, kata dia, surat penghentian siaran dari KPID Jabar yang diterbitkan bulan November 2014 untuk 2 buah stasiun televisi, tidak digubris. Dalam surat balasannya, stasiun televisi itu menyebut keputusan KPID Jabar tidak memiliki alasan kuat. Karena, tayangan yang dimaksud adalah siaran olah raga.

Padahal, kata dia, sudah jelas diatur oleh Peraturan Pemerintah nomor 50 Tahun 2005 materi siaran dari luar negeri yang berisi pertandingan olah raga yang sadis, dilarang untuk ditayangkan. Kondisi yang tidak berubah dari tahun ke tahun, dan trendnya malah meningkat, membuat pihaknya perihatin.

Karena, kata dia, praktisi penyiaran sepertinya tidak memiliki kesadatan etika dan hanya peduli pada keuntungan bisnis. Termasuk, pelanggaran terbaru adalah dalam melaporkan situasi bencana. Di negara-negara lain yang sudah maju peradabannya, jasad korban bencana atau musibah kecelakaan, tidak pernah ditayangkan dalam siaran live (siaran langsung). Bahkan, dalam siaran rekaman gambar jasad korban juga nyaris tidak digunakan dalam siaran.

''Ini, berbeda dengan perilaku lembaga penyiaran di Indonesia yang gemar memperlihatkan ceceran darah, mayat, atau potongan tubuh," katanya.

Gambar-gambar tersebut, kata dia, secara kategoris masuk dalam kategori kekerasan psikologis yang penggunaannya dalam siaran amat dibatasi oleh Peraturan KPI. Namun secara etika, jasad atau mayat adalah jenazah seseorang yang tetap memiliki marwah yang wajib dilindungi oleh yang masih hidup. ''Itu sebabnya sejumlah agama mewajibkan untuk mengurus jenazah dengan baik, bahkan ketika dimandikan tetap dalam ruang tertutup,'' katanya.

Sikap seperti ini, menurut Nursyawal menunjukkan, ketidakpedulian para praktisi penyiaran pada tujuan penyiaran, serta kewajiban-kewajiban mereka kepada publik untuk mendidik. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi juga, menunjukkan ketiadaan kesadaran etika dalam menggunakan gambar tertentu dan ketidakpedulian pada fakta bahwa Indonesia terdiri dari beragam budaya dan norma sosial.

Frekuensi, kata dia, masih dianggap oleh para praktisi penyiaran sebagai sebuah benda milik pribadi yang bisa dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk kepentingan siapa pun yang bisa mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya.

KPID Jabar berharap pada Tahun 2015, kondisi ini berubah. Nursyawal berharap, industri penyiaran menyadari, bahwa frekuensi yang digunakannnya untuk siaran adalah pinjaman dari seluruh rakyat Indonesia dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sekaligus menitipkan kepengurusan KPID Jabar periode 2012-2015, kepada pengurus baru yang akan dilantik Bulan Februari 2015 nanti.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement