Jumat 02 Jan 2015 02:18 WIB

Kisah Kakek Maskur yang Tujuh Tahun tak Kunjung Menerima Gaji

Rep: c94/ Red: Mansyur Faqih

REPUBLIKA.CO.ID, Perayaan tahun baru sangat meriah di berbagai kota. Di Ibu Kota Jakarta, panggung-panggung musik merayakan pesta kembang api. Suara tiupan terompet pun terdengar di pusat keramaian hingga sudut-sudut jalan. 

Namun 1 Januari 2015 merupakan hari genapnya tujuh tahun pria bernama Maskur menjalani profesi sebagai penjaga rumah pompa di RT 5 RW 1 Kelurahan Kampung Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.

Pria kelahiran 1961 itu memulai profesinya sejak 1 Januari 2008 ketika rumah pompa yang dibangun oleh perumahan elite Pantai Indah Kapuk rampung diselesaikan. 

Saat ditemui ia sedang mengayuh bambu panjang yang di ujungnya dipasangi saringan. Kulitnya legam terledam lupur, ia gunakan alat itu untuk memungut sampah-sampah yang tersangkut di pagar pompa. 

Gerakannya tak kaku meski harus bermandikan air kali yang sudah hitam dan bau. Usianya yang kini tak lagi muda tidak menghilangkan semangat dan tanggung jawabnya. 

Satu persatu ia mengangkat sampah seperti botol-botol bekas dan bungkus makanan. Begitulah rutinitasnya setiap hari di samping memanaskan mesin diesel pompa. 

Pak Maskur, sapa akhrab pria asal Tasikmalaya itu. Perawakannya kurus dengan tinggi 155 centimeter. Jika tertawa lekuk bibirnya terlipat dan giginya tampak tak lagi utuh. Sambail membersihkan sampah, terlihat pekerjaan itu ia lakukan dengan penuh rasa tanggung jawab dan iklas sepenuh hati. 

Meskipun menjalani profesi itu dengan sabar, sang istrinya kerap kali menuntut agar ia meminta upah bulannya. Namun, Maskur selalu menjawab dengan jawaban yang sama yakni tidak mengetahui kepada siapa ia harus meminta upah. 

"Kadang sesekali ketika hujan ataupun tidak, ada orang yang memeriksa keadaan pompa ini tapi tidak tahu dari mana, kalau tidak salah orang dari Pantai Indah Kapuk (PIK). Tapi kalau pompa ini punya siapa saya enggak tahu. Tugas saya membersihkan sampah di sekitaran pompa dan memanaskan mesin pompa saja," tururnya kepada Republika, Kamis (1/1). 

Maskur bersama istrinya duduk bersila di dekat pomba besar itu, mereka mengenang kembali betapa sudah lamanya waktu yang telah dilewati di bantaran Kali Angke. 

"Saya tinggal di sini mulai tahun 1970, waktu itu di sini masih hutan bakau, kalau istri sejak lahir tinggal di sini," ujar sepasang suami istri itu.

Maskur menikahi Salminah dan dikaruniai dua orang anak. Saat ini ia sudah memiliki empat cucu dari kedua anaknya. Maskur beserta istri, anak dan cucunya tinggal di rumah berukuran 3x4 meter yang lokasinya berada di depan rumah pompa tersebut.

Maskur kembali menuturkan soal Kali angke yang alirannya sudah mati. Dahulu tahun sejak ia tinggal pada 1970, aliran kali dekat rumahnya itu masih mengalir. 

Di sana banyak kapal-kapal kecil yang bertengger dekat rumahnya. Saat itu, kata Maskur, sebagian penduduk di sini berprofesi sebagai nelayan. 

Namun, keadaan itu berangsur berubah saat alirannya dipotong lalu dibendung untuk dialirkan ke perumahan dan diolah menjadi air bersih. "Sekarang sudah tidak ada lagi nelayan. Kalau hujan air meluap akibat dari arus Ciliwung yang mengalir ke sini dan menimbulkan banjir rob," katanya.

Maskur mengakui ketika musim penghujan mesin pompa tidak lagi berfungsi. Sebab, volume air melebihi kapasitas daya sedot mesin.

"Ditambah benton di sungai dilubangi oleh warga di sini untuk mengeluarkan air ke Kali Angke dan itu kelebihannya jadi cepat surut. Tapi kekurangannya ketika sungai meluap rumah warga akan kembali terendam. Jika tidak dibuat lubang air sulit keluar dari wilayah sini," ujar Maskun.

Saat ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya Kakek Maskur berprofesi sebagai pekerja serabutan. Terkadang mengumpulkan botol-botol bekas atau menjadi kuli pengeruk lumpur usai banjir di perumahan PIK. 

Namun profesi itu hanya dijalani sementara ketika musim hujan datang. Dari profesi itu ia memperoleh upah sebesar 75 ribu per harinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement