Jumat 19 Dec 2014 01:19 WIB

Korupsi Proyek Hambalang, Dirut PT DCL Jalani Sidang Perdana

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Mansyur Faqih
 Direktur Utama PT Duta Sari Cipta Laras, Machfud Suroso memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (19/11).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Direktur Utama PT Duta Sari Cipta Laras, Machfud Suroso memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (19/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta Pusat pada Kamis (18/12) menggelar sidang perdana untuk terdakwa Machfud Suroso. Ia disidang atas dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Desa Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dalam surat dakwaannya, jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuduh Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras (PT DCL) itu telah memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi secara ilegal dalam proyek Hambalang. Machfud juga dianggap secara melawan hukum memengaruhi kuasa pengguna anggaran (KPA), panitia pengadaan, dan pihak-pihak terkait dalam proyek bernilai Rp 1,077 triliun tersebut.

"Tindakan itu dilakukan terdakwa supaya perusahaannya bisa diikutsertakan sebagai subkontraktor pekerjaan mekanikal elektrikal dalam kerja sama operasi atau joint operation (JO) antara PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya di proyek Hambalang," kata JPU dari KPK, Fitroh Rohcahyanto, saat membacakan dakwaan di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (18/12).

Fitroh menuturkan, kasus ini berawal pada September 2009. Machfud yang ketika itu mendengar adanya proyek pembangunan P3SON di Hambalang, berusaha mendekati PT Adhi Karya sebelum pelaksanaan lelang. Dia pun melobi perusahaan itu agar mau menggandeng PT DCL menjadi subkontraktor di proyek tersebut. 

Upaya lobi Machfud ternyata berhasil. Dia pun ditunjuk untuk menangani pekerjaan mekanikal elektrikal pada proyek Hambalang dengan nilai kontrak Rp 245 miliar. Namun dengan syarat, Machfud harus mau memberikan 'jatah' sebesar 18 persen dari harga kontrak tersebut kepada para pejabat yang terlibat dalam proyek itu.

Akan tetapi, Machfud merasa keberatan karena tidak mendapat untung lantaran harus menanggung beban komisi 18 persen tersebut. Akhirnya, Teuku Bagus selaku Kepala Divisi Konstruksi I PT Adhi karya, memerintahkan bawahnnya, Yuli Nurwanto, untuk menaikkan nilai kontrak PT DCL sebanyak Rp 50 miliar lagi, sehingga menjadi Rp 295 miliar.

Jaksa Fitroh memaparkan, ada beberapa orang yang ikut menerima uang hasil korupsi proyek Hambalang dari Machfud. Antara lain mantan menpora Andi Alfian Mallarangeng sebanyak Rp 5 miliar, mantan sekretaris menpora Wafid Muharram sebesar Rp 6,55 miliar, Mahyudin Rp 500 juta, dan Olly Dondokambey Rp 2,5 miliar. 

Selain itu, Muhammad Nazaruddin menerima sebesar Rp 10 miliar, Joyo Winoto sebanyak Rp 3 miliar, anggota tim asistensi kemenpora di proyek Hambalang Lisa Lukitawati Rp 5 miliar, dan Adirusman Dault Rp 500 juta. 

Anas Urbaningrum juga disebut menerima sebesar Rp 2,21 miliar dari Machfud untuk membantu pemenangannya sebagai ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat 2010. "Sementara, terdakwa sendiri juga memperoleh kekayaan pribadi secara ilegal sebanyak Rp 46,5 miliar dari proyek Hambalang," tutur Fitroh.

Sementara, pihak korporasi yang diduga ikut menerima manfaat dari korupsi proyek Hambalang adalah PT Yodya Karya sebanyak Rp 5,2 miliar, PT Ciriajasa Cipta Mandiri Rp 5,8 miliar, PT Malmas Mitra Teknik Rp 837,6 juta, PD Laboratorium Teknik Sipil Geoinves Rp 94,8 juta, PT Global Daya Manunggal Rp 54,9 miliar, dan PT Metaphora Solusi Global sebesar Rp 5,8 miliar. 

Selain itu, ada lagi PT Aria Lingga Perkasa sebanyak Rp 3,3 miliar, PT DCL Rp 89,15 miliar, JO PT Adhi Karya-PT Wijaya Karya (Adhi-Wika) Rp 202,48 miliar, serta 32 perusahaan atau perorangan sub kontrak KSO Adhi-Wika sebesar Rp 17,96 miliar. 

"Rangkaian perbuatan terdakwa bersama orang-orang lain dan korporasi di atas, menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar Rp 464,5 miliar," kata JPU Joko Hermawan.

Atas perbuatannya tersebut, Machfud dijerat dengan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 juncto pasal 18 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement