REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan ada delapan sikap negara dalam urusan perlindungan hak asasi manusia (HAM), yang harus mendapat perhatian publik.
Koordinator Kontras, Haris Azhar mengatakan hal yang pertama, negara masih belum mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan yang potensial melakukan intervensi atas pilihan keyakinan, agama, dan wujud ibadah dari tiap warga negara.
Kedua, negara masih belum memberikan jaminan perlindungan terhadap pembela ham di Indonesia. Ketiga, pernyataan kontroversial presiden Joko Widodo untuk tetap melaksanakan agenda eksekusi terhadap 20 terpidana mati. Pada tahun 2015 nantinya.
"Keempat penuntasan kasus kematian Munir yang sarat dengan politik. Ada kepentingan penguasa dijawab negara dengan memberikan pembebasan bersyarat kepada Pollycarpus," katanya di Jakarta, Ahad (14/12).
Haris melanjutkan, hal yang kelima adalah terkait konflik di Papua. Kontras menilai hingga saat ini negara masih belum memiliki peta resolusi. Kontras menilai rencana perluasan Komando Daerah Militer (Kodam) di Papua tidak tepat.
"Itu adalah langkah negara, tanpa pernah memeriksa kembali agenda dari politik keamanan Indonesia di daerah tersebut," ujarnya.
Hal keenam yang patut menjadi perhatian adalah ketidaksolidan agenda deradikalisasi dalam isu anti-terorisme. Hal Ketujuh terkait laporan "Commitee Study of Central Agency's Detention and Interrogation Program" dan dugaan keterlibatan aktif Indonesia dalam praktik sistematik dan meluasnya penyiksaan agenda perang melawan terorisme pada periode 2002-2007.
"Saat itu BIN dipimpin oleh AM Hendropriyono," katanya.
Terakhir adalah masih minimnya evaluasi agenda pembangunan yang potensial merugikan publik. Kontras mencontohkan seperti yang tercatat pada Master Plan percepatan ekonomi, tidak diikuti dengan agenda resolusi konflik di sektor bisnis dan HAM.