REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana memberikan solusi penanganan kepada 600 'manusia perahu' yang terdampar di Perairan Derawan, Berau, Kalimantan Timur (Kaltim).
"Untuk menyelesaikan masalah ini ada sejumlah langkah yang perlu dilakukan," katanya dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (3/12).
Pertama, kata Hikmahanto, aparat penegak hukum dalam hal ini polisi dan petugas Imigrasi perlu memastikan mereka adalah nelayan tradisional. Mereka harus dipastikan bukan orang-orang yang sekedar menggunakan kedok nelayan tradisional atau nelayan tradisonal yang diorganisasikan oleh suatu mafia.
"Kepastian ini perlu dilakukan karena bila mereka nelayan tradisional maka pemerintah dapat melepas mereka. Nelayan tradisional dijamin untuk melakukan penangkapan ikan tanpa dibatasi oleh wilayah laut negara," ujarnya.
Ia mengatakan nelayan tradisional tentu melakukan penangkapan ikan dalam batas-batas untuk menafkahi hidupnya. Nelayan tradisional bukan nelayan yang memilih-milih jenis ikan tangkapan, apalagi melakukan penjualan ke para pelaku usaha yang sudah menunggu dibatas laut wilayah Indonesia.
Kedua, untuk menentukan kewarganegaraan buku paspor tidak dapat dijadikan rujukan. Terpenting adalah menyelidiki dari mana asal mereka dan bahasa apa yang digunakan.
Bila diketahui asal dan bahasa yang digunakan, pemerintah dapat meminta wakil Kedutaan Besar untuk datang dan memastikan bahwa mereka adalah warga negara mereka.
"Jika sudah jelas asal negara mereka maka pemerintah meminta agar pemerintah negara tersebut membiayai kepulangan mereka. Sementara kapal yaang digunakan ditenggelamkan," tegasnya.
Ketiga, agar tidak membebani APBN karena harus memberi makan dan berbagai kebutuhan hidup maka pemerintah segera menentukan status 600 orang ini. Bila nelayan tradisional mereka diperbolehkan berlayar kembali.
Sebelumnya Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo mengaku belum mempunyai solusi dan sulit memulangkan 600 orang di yang terdampar di Perairan Derawan, Berau, Kalimantan Timur (Kaltim) karena tidak memiliki identitas kewarganegaraan asal.