Rabu 26 Nov 2014 20:36 WIB

Jika Perppu Pilkada Ditolak, Bagaimana dengan Bawaslu?

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Mansyur Faqih
(dari kiri) Direktur Eksekutif IndoStrategi Andar Nubowo, dan Komisioner Bawaslu Nasrullah saat menghadiri diskusi di Media Center Bawaslu, Jakarta, Jumat (12/9).  (Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
(dari kiri) Direktur Eksekutif IndoStrategi Andar Nubowo, dan Komisioner Bawaslu Nasrullah saat menghadiri diskusi di Media Center Bawaslu, Jakarta, Jumat (12/9). (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nasib Perppu No 1/2014 tentang Pilkada masih menunggu persetujuan DPR. Namun, Komisi II DPR meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mempersiapkan berbagai hal jika ternyata perppu itu ditolak oleh anggota dewan.

Komisioner Bawaslu Nasrullah mengatakan, rapat DPR dengan KPU dan Bawaslu pada Senin (24/11) telah mengagendakan pembahasan terkait Perppu No 1/2014. Dalam rapat itu disebutkan, ada tiga skenario yang mungkin terjadi pada perppu tersebut, yakni diterima, ditolak, atau diterima dengan syarat-syarat tertentu.

"Jika perppu itu ditolak, maka KPU dan Bawaslu hampir bisa dipastikan tidak akan memiliki peran apa-apa lagi dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada)," ujar Nasrullah kepada Republika, Rabu (26/11).

Anehnya, kata dia, Komisi II DPR tetap meminta KPU dan Bawaslu untuk menyiapkan opsi yang diperlukan jika ternyata perppu tersebut ditolak. 

"Kalau ditolak, dalam posisi semacam itu paling Bawaslu hanya bisa berperan dalam penyelesaian sengketa proses pencalonan kepala daerah. Di luar itu kami tidak bisa apa-apa," imbuhnya.

Ia menuturkan, jika DPR menolak menyetujui Perppu No 1/2014, hal itu tidak serta-merta mengembalikan kekuatan hukum UU No 22/2014 yang mengatur mekanisme pilkada lewat DPRD. Karena undang-undang tersebut sudah batal secara konstitusi terhitung sejak ditandatanganinya Perppu No 1/2014 oleh Presiden SBY pada 2 Oktober lalu. 

Dengan kata lain, jika DPR ingin menolak perppu tersebut, maka konsekuensi logisnya mereka harus membuat UU Pilkada yang baru. Jika itu yang terjadi, maka proses pembuatan undang-undang baru tersebut dipastikan bakal memakan waktu yang tidak singkat. 

"Karena itu, langkah terbaik yang semestinya dilakukan DPR sekarang adalah memperkuat dan menyempurnakan perppu tersebut daripada menolak menyetujuinya. Payung hukum pilkada tidak boleh mengalami kekosongan, karena tahun depan akan banyak sekali pergantian kepala daerah," tutur Nasurllah.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamaruzaman meminta KPU dan Bawaslu menyiapkan tiga pilihan terkait regulasi pelaksanaan pilkada. Karena Perppu No 1/2014 belum tentu bakal disetujui DPR.

"KPU harus mempersiapkan tiga opsi dalam menyelenggarakan pilkada secara serentak di daerah. Opsi pertama bila Perppu Nomor 1/2014 diterima, kedua bila ditolak dan ketiga bila diterima dengan syarat-syarat tertentu," katanya, Senin (24/11).

Politikus Golkar itu mengatakan, bila DPR menerima peraturan itu, maka mekanisme yang digunakan berjalan normal. Sebaliknya, KPU harus menggunakan mekanisme khusus bila peraturan itu ditolak DPR.

Sedikitnya, ada 196 kabupaten dan kota, serta delapan provinsi menyelenggarakan pilkada langsung pada 2015. Celakanya, tidak semua pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk pelaksanakan pemilihan kepala daerah, karena Perppu Nomor 1/2014 belum disetujui DPR.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement