Sabtu 22 Nov 2014 19:34 WIB

ICW Ancam Bawa Hak Imunitas DPR ke MK

Rep: Agus Raharjo/ Red: Mansyur Faqih
Ketua DPR Setya Novanto (tengah), didampingi Wakil Ketua DPR membuka rapat penandatanganan kesepakatan damai Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/11).
Foto: antara
Ketua DPR Setya Novanto (tengah), didampingi Wakil Ketua DPR membuka rapat penandatanganan kesepakatan damai Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) berencana untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rencana itu terkait pasal 224 UU MD3 tentang hak imunitas anggota DPR.

Saat ini, DPR sedang membahas untuk merevisi UU MD3 guna memfasilitasi anggota Koalisi Indonesia Hebat (KIH) masuk dalam pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD). Pada saat bersamaan muncul tafsir dari pasal 224 tentang hak imunitas anggota DPR yang berlebihan sehingga menjadi kebal hukum. 

Kalau desakan pegiat antikorupsi ditanggapi DPR dan memasukkan pasal 224 ke dalam pembahasan revisi, ICW tidak akan melanjutkan rencana untuk menggugat pasal tersebut ke MK.

"Kalau desakan ini tidak dihiraukan, kami akan mengajukan judicial review ke MK," kata aktivis ICW, Abdullah Dahlan kepada Republika, Sabtu (22/11).

Ia menambahkan, pasal itu memuat kerancuan soal wewenang mahkamah kehormatan dewan (MKD). Seharusnya, MKD hanya memiliki wewenang untuk melakukan tindakan di sisi etik kedewanan. 

Namun di pasal 224 ayat 7, MKD bahkan memiliki wewenang di sisi tindak pidana. Yaitu dapat membatalkan proses pidana atau SP3 kasus. 

"Kita berharapnya momentum islah ini juga digunakan untuk memerbaiki pasal yang imunitas yang berlebihan ini," ungkap Abdullah.

Dalam UU MD3 pasal 224 ayat 5 disebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD. 

Kemudian di ayat 6 diatur, surat putusan izin tersebut harus diproses oleh MKD paling lambat 30 hari sejak surat permintaan diterima. Di ayat 7 disebutkan, jika MKD memutuskan tidak memberikan persetujuan, maka surat pemanggilan tidak memiliki kekuatan hukum atau batal demi hukum. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement