REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Front Pembela Rakyat (FPR) menilai pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebagai hak dasar rakyat dan bentuk lain intervensi negara dalam memberikan perlindungan telah melanggar HAM dan melawan konstitusi. Menaikkan harga BBM bersubsidi akan memberikan efek domino bagi rakyat.
Menurut Koordinator FPR Rudi HB Daman, alasan penaikan harga BBM yang direncanakan oleh Jokowi sama seperti yang digunakan SBY dalam menaikkan harga BBM sebelumnya. Bedanya, kali ini harga minyak dunia justru mengalami penurunan.
"Namun dengan meningkatnya kebutuhan konsumsi dalam negeri yang tidak bisa dikendalaikan, Jokowi kemudian dengan semena-mena menyalahkan rakyat sebagai bangsa konsumtif dan terlalu boros dalam menggunakan minyak”, kata Rudi dalam siaran persnya, Selasa (18/11).
Rudi mengatakan kondisi minyak saat ini, baik dalam aspek produksi maupun harga dipasar Internasional menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Produksi Minyak Nasional saat ini hanya mencapai 700 ribu Barrel/hari.
Sedangkan kebutuhan konsumsi minyak nasional telah mencapai 1,6 juta barrel/hari. Artinya, untuk konsumsi minyak nasional, Indonesia mengalami defisit 900 ribu barrel per hari.
Sementara harga minyak mentah Internasional saat ini sebesar 85 dolar AS per barrel atau sama dengan Rp 1.020.000. Jadi, total kebutuhan untuk import minyak mentah sama dengan Rp 918 miliar per hari.
"Saat ini, meskipun ada kenyataan penurunan harga minyak dunia hingga 43 persen, dari 150 dolar AS menjadi 85 dolar AS, pemerintah tetap akan mencabut subsidi BBM dengan alasan pemborosan anggaran dan meningkatnya kebutuhan konsumsi dalam negeri," imbuhnya.
Sementara, alokasi anggaran subsidi BBM pada 2014, ditetapkan sebesar Rp 246,5 triliun. Menurutnya, Pemerintah memandang pengalokasian anggaran untuk subsidi BBM tidaklah efektif, hanya pemborosan semata, karenanya harus dicabut dan dialihkan ke sektor ariil, terutama untuk pembangunan infrastruktur.
"Rezim Jokowi-JK telah menunjukan watak sejatinya sebagai pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat," ujar Rudi.
Irhash Ahmady dari Eksekutif Nasional Walhi, menyebutkan Rejim Jokowi-JK seperti mengulang kesalahan rejim sebelumnya. Menurutnya, jika mengacu pada ketersediaan fiscal, pemerintah seharusnya membereskan mafia migas, meningkatkan rasio pajak dari sektor sumber daya alam.
Pihaknya mengaku kecewa dengan Jokowi-JK yang memberikan subsidi kepada investor dalam bentuk kemudahan izin investasi dan bebas bea masuk import kepada pemilik modal khususnya luar negeri. "Rezim Jokowi-JK sangat terlihat keberpihakannya kemana," katanya.
Rahmad Ajiguna dari Aliansi Reforma Agraria (AGRA) menyatakan pencabutan subsidi BBM semakin menyengsarakan rakyat tani yang menjadi mayoritas warga Indonesia.
"Alokasi dana yang diberikan kepada rakyat miskin sekitar Rp 15 juta tersebut hanya 20 persen dari kaum tani Indonesia, sisanya akan menderita berlapis selain ancaman terhadap kehilangan lahan yang dirampas oleh korporasi dan negara”, ujarnya.
Front Perjuangan Rakyat (FPR) juga menuntut pemerintah untuk segera membatalkan penaikan harga BBM subsidi.
Pemerintah diminta membuktikan mampu membereskan mafia migas dan tambang, memiliki skemaphasing out dari ketergantungan terhadap energi fosil dan mendorong lahirnya energi bersih nonnuklir yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.