Selasa 18 Nov 2014 16:27 WIB
Kenaikan BBM

Sosiolog: Kelas Bawah Maknai Kenaikan BBM Salahi Amanah

 Puluhan massa dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) melakukan aksi diam di Bundaran HI, Jakarta, Selasa (18/11).   (Republika/ Tahta Aidilla)
Puluhan massa dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) melakukan aksi diam di Bundaran HI, Jakarta, Selasa (18/11). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Nia Elvina mengatakan setiap kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan selalu dimaknai oleh masyarakat kelas bawah sebagai tindakan melanggar amanah.

"Atau lebih tepatnya kepercayaan yang diberikan oleh mereka, yakni rakyat kelas bawah seperti petani, buruh dan nelayan serta pedagang kaki lima," katanya di Jakarta, Selasa (18/11).

Dari perspektif sosiologis, menurutnya tindakan tersebut ini akan dimaknai oleh masyarakat kelas bawah, pendukung terbesar Jokowi untuk menjadi Presiden, sebagai tindakan menyalahi amanah yang pernah disampaikan saat kampanye lalu.

"Rakyat kelas bawah itu akan berefleksi dari ingatan kolektif mereka bagaimana Jokowi juga mempunyai suara dan ideologi yang sama ketika melawan kebijakan SBY untuk menaikkan harga BBM," kata anggota peneliti Kelompok Studi Perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.

Meski begitu  tindakan yang dilakukan oleh partai pengusung Jokowi, PDIP, menunjukkan banyak sekali aksi-aksi di parlemen yang mereka lakukan sebagai wujud ketidaksepakatan mereka terhadap kebijakan tersebut.

Dengan adanya kebijakan menaikkan BBM itu, katanya, rakyat akan menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Jokowi dahulu hanya tindakan untuk membangun citra saja, sebagai alat untuk mencapai kekuasaan.

"Setelah berkuasa, kepentingan kelas bawah hanya dijadikan sebatas jargon saja," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa pemerintah harus meninjau ulang kebijakan ini, karena dampaknya terhadap masyarakat kelas bawah sangat parah, yakni semakin menjerumuskan mereka pada perangkap kemiskinan (poverty trap).

Presiden, katanya, seharusnya sadar akan pesan yang diamanatkan oleh peraih nobel di bidang ekonomi bahwa mengelola negara bukan seperti mengelola perusahaan, yakni tidak terjebak pada tujuan efisiensi.

Ia merujuk pada Prof Mubyarto (alm), ekonom Indonesia dari Universitas Gadjah Mada (UM) Yogyakarta yang sangat disegani, yang menyatakan dengan gamblang bahwa ekonomi, bukan merupakan ekonomi "an-sich", akan tetapi adalah ekonomi politik (political economy).

"Atau dengan kata lain, bagaimana kebijakan ekonomi itu dikonstruksi dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan untuk pencapaian keadilan dan kesejahteraan bersama," kata Sekretaris Program Sosiologi Unas itu.

Menurutnya, presiden juga perlu belajar dari Presiden AS Obama, yakni bagaimana Obama mendapatkan dukungan yang luas dari rakyat AS ketika "bersitegang" dengan kongres di parlemen, ketika kubu Republik menolak kebijakan sosial dia dalam bidang kesehatan.

Lainnya, kata dia, adalah tindakan Obama baru-baru ini, yakni melakukan peningkatan jumlah subsidi bagi petani. "Sekali lagi, saya kira langkah pemerintah kita menaikkan harga BBM sangat tidak tepat," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement