REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Emrus Sihombing menilai sebenarnya wajar bagi Presiden Joko Widodo untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Terlebih jika melihat beban subsidi BBM yang dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, ia menyayangkan bahwa saat pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi Senin (17/11) malam kemarin. Jokowi maupun Menteri ESDM dan Menteri Keuangan tidak memberikan penjelasan rinci terkait perhitungan akurat dari penentuan harga BBM tersebut.
Menurutnya seharusnya pada pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi semalam, pemerintah dapat menjelaskan berapa harga BBM per liternya jika BBM diproduksi di tanah air.
Serta berapa harga BBM per liternya jika diimpor langsung dari produsen dengan sistem Government to Government (G to G).
Karena dengan data dari kedua harga ini, masyarakat dapat ikut melihat harga riil dari BBM tersebut.
"Karena tidak ada penjelasan, kita jadi bertanya ‘kok dinaikkan?’ Tapi, landasan kenaikannya hanya sekedar membengkak subsidi," jelasnya.
Selain itu, Emrus menilai seharusnya Jokowi menyinggung target atas pemberantasan mafia energi saat pengumuman kenaikan harga BBM.
Ia mengapresiasi atas dibentuknya tim pemberantas mafia migas yang diketuai oleh Faisal Basri oleh Menteri ESDM.
Akan tetapi, Emrus menilai perlu bagi Jokowi untuk memberikan target dari proses pemberantasan mafia migas ini, agar masyarakat juga lebih yakin.
"Misalnya, menyatakan bahwa mafia energi akan dhabiskan selama enam bulan," katanya.
Seandainya pemerintah memberikan penjelasan perinci terkait perhitungan harga BBM dan juga target pencapaian untuk tim pemberantas mafia migas, Emrus menilai bukan tidak mungkin masyarakat akan lebih siap untuk menerima dan bahkan memberikan dukungan pada pemerintah.
"Sayangnya tadi malam Joko Widodo tidak menyatakan itu," ujarnya.