REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir setahun program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang diselenggarakan lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berjalan. Namun Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir menyebutkan, program yang diresmikan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono awal tahun 2014 ini masih ada sejumlah aduan dari masyarakat.
Huzna mengatakan aduan yang paling sering terjadi adalah keluhan pelayanan dari rumah sakit seperti penolakan dan biaya tambahan serta kurangnya informasi prosedur penggunaan kartu BPJS.
"Ketika masyarakat pergi ke rumah sakit swasta banyak yang harus mendapatkan bayaran tambahan, itu yang dipertanyakan," kata Huzna disela Dialog DPD "Pro-Kontra Kartu Sakti dan Jaminan Sosial" di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (14/11).
Meski begitu Huzna menjelaskan, informasi yang didapatnya dari BPJS menyebutkan jika masyarakat yang sudah terlanjur membayar tagihan tambahan dari rumah sakit sebaiknya langsung melapor ke counter BPJS yang ada dirumah sakit. Dengan menunjukkan bukti pembayaran BPJS akan menggantikannya. "Kalau sudah terlanjur ada tagihan ada pengganti yang dibayarkan. Kecuali konsumen yang minta naik kelas," katanya.
Karena itu, agar tidak banyak kejadian serupa Huzna meminta pemerintah terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat informasi hak dan kewajibannya sebagai peserta JKN. BPJS sebagai penyelenggara juga baiknya menempatkan pusat-pusat informasi untuk masyarakat mengadu.
"Karena kesalahan bukan hanya di masyarakat yang tidak tahu tapi juga kadang rumah sakit yang tidak mengerti bagaimana BPJS," katanya.
Namun Ketua Tim Sistem Jaminan Nasional Dr. Sulastomo berpandangan selama ini ketidaktahuan informasi bukan hanya dari pemerintah tapi juga dari masyarakat yang enggan mencari tahu. Sulastomo menyebut masyarakat cenderung cuek ketika tidak butuh informasi tersebut.
"Bukan saya membela BPJS tapi orang cuek ketika sehat. Ketika sakit baru buka peraturan," kata Sulastomo.