Kamis 13 Nov 2014 16:07 WIB

KIH Diminta tak Setengah-Setengah Serahkan Nama Anggota AKD

Rep: Muhammad Akbar Wijaya/ Red: Mansyur Faqih
Fadli Zon
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Fadli Zon

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Merah Putih (KMP) meminta Koalisi Indonesia Hebat (KIH) segera mengajukan nama anggota di seluruh alat kelengkapan dewan (AKD). Sebab kesepakatan KIH dan KMP baru bisa dibicarakan setelah seluruh anggota AKD terpenuhi. 

"Kalau dari kami (KMP) mereka (KIH) harus memasukan nama-nama bukan di baleg saja tapi di semua komisi," kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (13/11).

Fadli mengatakan pembentukan komisi dan AKD lain sudah selesai. Namun belum seluruh fraksi menyerahkan nama anggotanya. Dia menolak apabila KIH tidak menyerahkan nama anggota di seluruh komisi dan AKD lain. "Saya kira lebih bagus tidak usah," ujarnya.

Ketiadaan anggota KIH di komisi mau pun AKD lain tidak akan menghambat kinerja DPR. Fadli mengatakan tidak mungkin DPR menuruti semua permintaan dari KIH. 

Sebab hal itu bisa merusakan kesolidan DPR yang kini terbelah dalam kubu KIH dan KMP. "Jadi mereka kan cuma minta-minta jabatan. Tidak mungkin kita mengorbankan undang-undang," katanya.

KIH menargetkan penyerahan komisi paling lambat pada 5 Desember. Namun Fadli berharap KIH bisa menyerahkan lebih cepat. "Apa yang sudah ada sekarang sudah legitimate," ujar Fadli.

Sebelumnya Wasekjen DPP PDIP, Achmad Basarah mengatakan KIH baru akan mengajukan nama anggota komisi begitu pengubahan pasal 74 dan 98 di UU MD3 dilakukan. 

Untuk itu, KIH baru akan menyerahkan nama anggota di badan legislasi (baleg) agar revisi undang-undang bisa lebih dulu dilakukan. "Baleg dulu selesaikan. Komisi-komisi lain dinyatakan status quo dulu," ujar Basarah. 

Ia mengatakan kedua pasal tersebut tidak mencerminkan semangat presidensil sehingga harus direvisi. Pasal 74 dan 98 ayat 5,6,7 mewajibkan pejabat pemerintah menjalankan keputusan rapat komisi mau pun AKD lain. 

Jika tidak, maka anggota dewan bisa mengajukan hak interplasi, tanya, bahkan permohonan ke presiden mengganti pejabat tersebut.

"Aturan itu seolah-olah DPR mendikte pemerintah. Buat apa islah kalau DPR posisinya tidak equal dengan pemerintah," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement