Selasa 11 Nov 2014 22:28 WIB

Tuntut UMK Naik, tapi Produktivitas Rendah

Rep: Friska Yolandha/ Red: Esthi Maharani
Buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Berjuang (Gerbang) saat berunjuk rasa menolak upah murah, di Semarang, Jateng, Selasa (11/11). (Antara/R. Rekotomo)
Buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Berjuang (Gerbang) saat berunjuk rasa menolak upah murah, di Semarang, Jateng, Selasa (11/11). (Antara/R. Rekotomo)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Buruh di sejumlah daerah menuntut kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Rata-rata, kenaikan yang dituntut adalah sebesar 30 persen.

Deputi Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan, kenaikan UMK sangat penting untuk mempertahankan daya beli di daerah. Hal ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

"Kenaikan UMK akan meningkatkan daya saing daerah, termasuk investasi," kata Perry di Bandung, Selasa (11/11).

Namun demikian, kenaikan UMK seharusnya tidak hanya untuk mempertahankan daya beli, tetapi juga produktivitas. Sayangnya, saat ini, kenaikan UMK tidak sejalan dengan kenaikan produktivitas.

Perry menunjukkan grafik pertumbuhan kenaikan UMK dan produktivitas buruh di Indonesia. Grafik tersebut menunjukkan, produktivitas tumbuh lebih landai dibandingkan kenaikan nilai UMK. Bahkan, di Jawa, kenaikan UMK justru diikuti dengan penurunan produktivitas.

Perry mengharapkan agar kenaikan UMK di daerah diimbangi dengan kenaikan produktivitas. Hal ini bertujuan agar buruh di daerah memiliki daya saing.

"Gaji buruh di Jakarta masih lebih tinggi dibandingkan gaji buruh di India dan sedikit di bawah Malaysia," ujar Perry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement