REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fauzih Amroh dari Fraksi Partai Hanura menilai pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terpaksa menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebab pemerintahan Jokowi-JK harus mewarisi beban peninggalan rezim SBY.
"Jokowi JK ini mewarisi rezimnya SBY. APBN 2015 sudah diketok palu oleh pemerintah sebelumnya. Jokowi ini menanggung beban oleh APBN yang sudah diketok palu," jelasnya di gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (11/11).
Ia mengatakan masalah utama BBM saat ini yakni ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan produksi. Sehingga, pemerintah terpaksa harus menaikkan harga BBM. "Cara satu-satunya adalah menaikkan harga BBM. Kita juga harus memahami pemerintahan Jokowi JK karena beban," tegasnya.
Ia pun menegaskan akan memberikan dukungannya kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Meskipun begitu, menurutnya masih banyak berbagai masalah yang dihadapi pemerintah, salah satunya yakni pembangunan infrastruktur peralihan bahan bakar minyak menjadi gas.
"Ini menghemat beberapa ribu ton kebutuhan konsumsi," katanya. Selain itu, ia juga menyarankan agar dilakukan pembatasan mobil yang masuk ke Indonesia. "Hal-hal ini kita harus belajar dari Singapura. Di sana mobil dibatasi. Lebih dari lima tahun mobil dibuang," jelasnya.
Senada dengan Fauzi, Ellan Biantoro, Koordinator Dewan pakar Energi Nasional mengatakan pemerintah kini menanggung warisan dari pemerintah masa lalu. "Pemerintah sekarang menerima warisan dosa-dosa yang dilakukan pemerintah masa lalu," katanya.
Meskipun begitu, ia menyarankan pemerintah agar berhati-hati dalam menaikkan harga BBM. Pasalnya, wacana kenaikan BBM ini telah memberikan dampak kepada masyarakat.
"Kalau ingin menaikan harga BBM, jangan dibuat rumor duluan, karena sangat berpengaruh terhadap rakyat. Barang-barang mahal dan langka. Spekulan bekerja," katanya. Menurutnya, pemerintah harus membuat strategi terhadap isu kenaikan harga BBM ini agar tidak berdampak pada rakyat.