REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sehari setelah peluncuran kartu sakti Joko Widodo (Jokowi), yakni Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), langsung dipertanyakan.
Ketua DPR Setya Novanto mempersoalkan peluncuran tiga kartu tersebut lantaran tidak ada izin dari parlemen sebelum diluncurkan. Politikus Partai Golkar itu mengatakan, ada hal yang harus diperhatikan sebelum pemerintah meluncurkan kartu tersebut.
Tak hanya para politisi, masyarakat pun dibuat bingung dengan kartu tersebut. Ridwan (40 tahun) yang mengaku tidak tahu cara penggunaan tiga kartu tersebut. Bahkan, warga Kebayoran Baru ini mengeluh karena terlalu banyak kartu yang dikeluarkan pemerintah.
"Indonesia terlalu banyak menggunakan kartu. Kartu kesehatan saja ada Jamkesmas, BPJS, sekarang KIP, KIS, KKS. Itu memangnya bisa digunakan buat berobat juga?" katanya pada Republika Selasa (4/11)
Begitu juga dengan pedagang kaki lima di pertigaan Swadarma, Suroso (55). Ia mengaku belum mengerti dengan penggunaan kartu tersebut.
Bagi Suroso, Jamkesmas sudah dirasa cukup membantu masyarakat miskin untuk berobat. Karenanya ia meminta pemerintah mengoptimalkan Jamkesmas saja.
Pedagang itu masih bingung, apa perbedaan KIS dengan BPJS dan Jamkesmas. Apalagi dengan dua kartu lainnya KKS dan KIP.
Ia meminta ada sosialisasi penggunaan kartu tersebut di Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Sehingga masyarakat yang menggunakan kartu baru seperti KIS bisa tepat sasaran.
Ketua Komisi IX Dede Yusuf mengatakan pemerintah harus mendapat persetujuan dari DPR bila ingin membuat dasar hukum bagi program jaminan sosial baru serupa BPJS yang diberi nama KIS.
Saat ini, kata dia, sudah ada UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengatur tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Kemudian UU Nomor 24/2011 tentang BPJS .
Selama undang-undang yang sudah ada itu belum dicabut atau direvisi, maka KIS diasumsikan sebagai produk dari BPJS dengan penyempurnaan