Selasa 16 Jul 2019 06:10 WIB

Mengapa Isu Hukum Minim di Pidato Visi Jokowi?

Bivitra menilai para pegiat antikorupsi harus siap bergerak lebih aktif.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden terpilih Joko Widodo menyampaikan pidato pada Visi Indonesia di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Presiden terpilih Joko Widodo menyampaikan pidato pada Visi Indonesia di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden terpilih Joko Widodo menyampaikan visinya saat berpidato di Sentul, Bogor, Ahad (14/7) malam. Dalam 'Visi Indonesia' itu Jokowi mengungkapkan beragam persoalan ekonomi dan tantangan ke depan. Namun, visi Jokowi dinilai luput terhadap sektor hukum dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai para pegiat hukum, hak asasi manusia (HAM), dan antikorupsi harus siap bergerak lebih aktif lima tahun ke depan. Hal itu ia rasakan usai melihat Visi Indonesia yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo.

Baca Juga

"Saya kira, para pegiat hukum, HAM, dan antikorupsi harus siap-siap bergerak lebih aktif lima tahun ke depan," ujar Bivitri kepada Republika.co.id, melalui pesan singkat, Senin (15/7).

Menurut Bivitri, di dalam visi yang disampaikan oleh Jokowi tidak ada sama sekali menyinggung soal negara hukum. Bahkan, kata dia, diksi hukum saja tidak digunakan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut dalam pidatonya semalam.

"Bicara konsep negara hukum itu soal HAM dan pembatasan kekuasaan oleh hukum, termasuk pemberantasan korupsi. Nah ini tidak ada sama sekali dalam visi dan misi itu. Kalaupun ada, sedikit soal reformasi birokrasi," terangnya.

Padahal, menurut Bivitri, sesungguhnya reformasi birokrasi itu hanya bagian yang sangat kecil dari upaya pemberantasan korupsi. Bicara soal pemberantasan korupsi tidak hanya sampai di situ saja, tetapi juga mencakup penindakan tindak pidana korupsi, termasuk oleh pejabat-pejabat yang memegang kekuasaan.

"Dan kalau bicara pencegahan, tidak hanya reformasi birokrasi, tapi juga misalnya korupsi di sektor swasta, dan lain-lain," tuturnya.

Terlepas dari fakta visi-misi tidak dimaksudkan secara detail,  Bivitri melihat dalam poin-poinnya pun tidak disebutkan sama sekali soal hukum. Ia meragukan upaya pembentukan negara hukum yang berkeadilan akan masuk ke dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) yang sedang disusun Bappenas.

"RPJM pun nanti acuannya adalah visi dan misi presiden terpilih. Jadi kalau visi dan misinya jauh dari upaya-upaya untuk membentuk negara hukum yang berkeadilan, maka RPJM-nya pun juga akan jauh dari situ," jelas dia.

Berdasarkan catatan Republika.co.id, Jokowi hanya menyinggung dikit soal hukum di pidato terakhirnya. Ia mengatakan, Indonesia maju adalah Indonesia yang tidak ada satu pun rakyatnya tertinggal untuk meraih cita-citanya. Indonesia yang demokratis, yang hasilnya dinikmati oleh seluruh rakyat.

"Indonesia yang setiap warga negaranya memiliki hak yang sama di depan hukum. Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kelas dunia. Indonesia yang mampu menjaga dan mengamankan bangsa dan negara dalam dunia yang semakin kompetitif," kata Jokowi.

Direktur Eksekutif Institut for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara menambahkan, dalam mendorong pembangunan ekonomi, pembangunan negara hukum adalah suatu condition sine qua non bagi terwujudnya kepastian berusaha di Indonesia.

Sayangnya, Jokowi hanya tentang pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manasia (SDM), mengundang investasi, reformasi birokrasi, dan penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.

Anggara mengingatkan, bahwa dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia telah menegaskan bahwa “Indonesia adalah Negara hukum” dan aspek terpenting dari Negara hukum adalah jaminan hak asasi manusia.

Karena itu, semestinya kata dia, Presiden meletakkan pembangunan negara berdasar hukum (rule of law) sebagai prioritas pertama pemerintahannya.

"Rule of Law Index yang dikeluarkan oleh World Justice Project telah mencatat bahwa sepanjang empat tahun terakhir, skor Indonesia cenderung stagnan kalau tidak ingin dikatakan cenderung menurun," kata dia.

Pada 2019, skor Indonesia adalah 0.52. Perolehan nilai 0,52 dari skala 0 - 1 ini menurutnya, menandakan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah ke depan.

Misalnya sambung Anggara, pemenuhan hak tersangka selama proses peradilan,  pemenuhan prinsip persamaan di muka kukum, pemenuhan prinsip peradilan yang kompeten, independen, dan imparsial serta pemenuhan prinsip pendampingan oleh penasihat hukum.

Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan, meskipun tak disampaikan dalam pidatonya, Jokowi tak abai terhadap masalah-masalah hukum.

 

"Secara substansi semua persoalan sudah ada di dalamnya, tidak ada upaya niat atau abai terhadap persoalan-persoalan itu tidak, tolong cara memahaminya. Itu sebuah pidato yang sangat komprehensif, Presiden menyadarkan kita semua bahwa dunia sekarang fenomena globalnya seperti itu, maka diperlukan cara-cara yang adjustif," jelas Moeldoko di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (15/7).

Salah satu bukti pemerintah tak abai terhadap masalah hukum dan HAM yakni perhatian Presiden terhadap kasus Baiq Nuril, korban kasus pelecehan seksual. Moeldoko mengatakan, Presiden memberikan perhatiannya terhadap kasus yang dialami oleh Baiq Nuril. "Tidak ada abai sama sekali, buktinya soal-soal seperti Baiq ini menjadi perhatian," tambah dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement