REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tantowi Yahya mengatakan, kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tidak harus berasal dari latar belakang militer.
Jika mempunyai ilmu intelijen dan pengalaman yang mendukung, orang berlatar belakang sipil pun bisa menjadi kepala BIN.
"Tidak harus militer, itu karena kebiasaan selama ini saja. Orang (berlatar belakang) sipil juga bisa menjadi kepala BIN," katanya saat dihubungi Republika, Kamis (6/11).
Dia mengatakan, banyak pekerjaan rumah menunggu kepala BIN yang akan dipilih Presiden Jokowi. Salah satunya, adalah ancaman asimetris atau berasal dari dunia maya. Perang dunia maya atau cyber war saat ini menjadi hal yang paling penting untuk diwaspadai dalam dunia intelijen.
Sebab, lanjutnya, infiltrasi yang paling mudah dilakukan saat ini adalah melalui teknologi informasi (IT). Untuk itu, menurut Tantowi, BIN ke depan harus lebih banyak menggunakan IT.
"Untuk itu ke depan BIN harus banyak menggunakan IT dalam upaya pencegahan dini, karena ancaman ke depan bukan simetris tapi asimetris yang disebut cyber war," katanya.
Politisi Golkar ini mengatakan, pelajaran penting dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah terkait disadapnya pembicaraan presiden oleh Australia. Untuk itu, kata dia, kepala BIN harus punya visi yang jelas dan konkrit tentang cyber intellegence.
Dia menambahkan, DPR akan memberi dukungan penuh terhadap kepala BIN yang akan datang jika memrioritaskan IT dalam kerjanya. Dukungan itu akan diberikan dengan pengalokasian anggaran yang lebih besar untuk membenahi alat-alat IT di BIN.
"DPR melakukan dukungan anggaran agar peralatan telekomunikasi di BIN bisa diremajakan," ujar Wasekjen Partai Golkar ini.