REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program Kesejahteraan Rakyat, salah satunya Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang diluncurkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpotensi menjadi persoalan hukum. Pasalnya program KIP tidak tercantum dalam Undang-Undang APBN sekarang.
"Belum ada landasan hukumnya," kata Wakil Ketua Komisi X DPR, Ridwan Hisyam kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (4/11). Ridwan mengatakan Komisi X DPR telah membahas program KIP yang diluncurkan Jokowi.
Menurutnya banyak dari anggota Komisi X incumbent yang menilai program KIP sama dengan program Bantuan Siswa Miskin (BSM) pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Singkat kata Jokowi hanya mengganti nama program saja.
"Mereka (Komisi X incumbent) menilai Jokowi mengklaim program lama. Istilahnya cuma ganti baju," ujar Ridwan. Jokowi tidak bisa seenaknya mengubah mata anggaran untuk bantuan pendidikan yang telah ada di APBN.
Sebagai mantan kepala daerah, kata Ridwan, Jokowi mestinya memahami aturan birokrasi anggaran. Sebab menurut Ridwan meskipun program KIP dan BSM memiliki tujuan yang sama, namun pengubahan nama program tetap mesti melalui persetujuan DPR.
"Kalau dicairkan anggarannya belum ada persetujuan DPR, bisa bermasalah hukum karena tidak sesuai denga mata anggaran di APBN," katanya. Ridwan mencontohkan. apabila APBN menganggarkan pembelian mobil Toyota Crown senilai Rp 1 miliar per unit, pemerintah tidak bisa mengubahnya dengan membeli Toyota Kijang sebanyak lima unit meski dengan nilai pembelian yang sama.