REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemendagri belum bisa mengakomodasi keinginan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan agar dicantumkan dalam kolom agama KTP elektronik. Selama belum diakui negara sebagai agama resmi, pemerintah tak memiliki landasan hukum untuk mencantumkan aliran kepercayaan tersebut dalam kartu identitas kependudukan.
"Kan belum diakui negara. Semua kan harus ada aturan hukumnya," kata Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Dodi Riatmadji, Rabu (22/10).
Menurut Dodi, pencantuman agama dalam KTP elektronik berdasarkan agama yang sudah diakui secara resmi oleh pemerintah. Sepanjang Sunda Wiwitan belum ditetapkan pemerintah sebagai agama yang diakui, maka dalam e-KTP kolom agama tidak dicantumkan atau dikosongkan.
Sebelumnya, pemuka adat Baduy yang tinggal di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, meminta pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla merevisi kebijakan kolom agama di kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Mereka ingin kepercayaan Sunda Wiwitan kembali dicantumkan dalam kolom agama.
"Kami berharap pemerintah baru Jokowi-JK bisa mengeluarkan kebijakan melalui undang-undang yang memperbolehkan kepercayaan Sunda Wiwitan sebagai agama warga Baduy masuk dalam e-KTP," kata Wakil Ketua Wadah Musyawarah Masyarakat Baduy (Wammby) Medi Marsinun.
Menurutnya, saat ini masyarakat Baduy berjumlah sekitar 11.200 jiwa. Dari 1970-2010, kepercayaan mereka, yaitu Sunda Wiwitan, tertulis pada KTP. Saat ini, kolom agama yang dicantumkan pada KTP, yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Kemendagri sebelumnya mengeluarkan kebijakan bahwa kolom agama untuk penganut kepercayaan dan agam adat dikosongkan. Medi mengatakan, sudah mendatangi ditjen administrasi kependudukan dan catatan sipil kemendagri di Jakarta. Kedatangan itu menuntut hak sebagai warga negara agar diakui kepercayaan Sunda Wiwitan tertulis pada KTP.