Rabu 22 Oct 2014 16:57 WIB

Parpol Diminta Hati-Hati Tempatkan Kader di Komisi Basah

Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi (kiri), Direktur Indonesia Publik Institute Karyono Wibowo (kanan) berbicara dalam diskusi publik di Jakarta, Jumat (19/9).(Republika/ Tahta Aidilla)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi (kiri), Direktur Indonesia Publik Institute Karyono Wibowo (kanan) berbicara dalam diskusi publik di Jakarta, Jumat (19/9).(Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat anggaran yang juga  Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi menyarankan agar ketua umum partai politik (parpol) lebih berhati-hati dalam menempatkan kadernya di komisi DPR. Menurut dia, semua Alat Kelengkapan Dewan (AKD), antara lain Komisi, Badan Anggaran dan Badan Legislasi memiliki potensi untuk terlibat dalam tindak pidana korupsi. Sebab, alat DPR tersebut mengelola keuangan negara dalam jumlah besar.

"Berdasarkan pengalaman DPR masa lalu, komisi malahan jadi sumber penghasilan anggota dewan, sehingga tak heran jika banyak yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," ujar Uchok dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (22/10).

Seperti diketahui ada sejumlah anggota DPR periode 2009-2014 yang berurusan dengan KPK karena terjerat masalah korupsi dan akhirnya masuk penjara. Berdasarkan informasi di Senayan, saat ini ada persaingan untuk memperebutkan Komisi XI DPR. Komisi ini menangani bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank. Sayangnya, ada salah satu calon petinggi di komisi ini yang sempat terseret dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Bank Intan.

Bekas menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat melakukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung terkait kasus Bank Intan. Menurut Sri Mulyani kala itu, kasus hukum yang tengah diajukan untuk ditinjau kembali adalah kasus mengenai ingkar janji pemegang saham Bank Intan terhadap BI.

Sementara itu, mengenai data yang digunakan dalam laporan BLBI kepada DPR, menkeu mengatakan angka itu sesuai dengan hasil audit BPK. "Angka itu sesuai dengan audit BPK. Sebelum ada keputusan yang incrach (tetap), tidak ada perubahan dengan angka itu," katanya.

Sejumlah pihak menilai persoalan BLBI Bank Intan dengan pemerintah sudah selesai dengan adanya keputusan MA pada Oktober 2005. Pada 1996 sejumlah pengusaha sempat  mengambilalih Bank Intan dengan persyaratan selama 15 tahun yaitu sampai 2011, namun pemerintah menutup bank itu 2 tahun kemudian.

Menurut Uchok, setiap komisi memang punya kemungkinan korupsi karena mitra kerjanya mengelola anggaran besar. "Ada komisi yang basah dan banyak anggaran seperti Badan Anggaran, dan ada komisi yang basah tapi tidak banyak anggarannya, yaitu yang belanja kementeriannya sedikit tapi penghasilannya besar, seperti komisi XI yang bermitra dengan Kementerian Keuangan termasuk aset dan pajak," sebutnya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon sempat menunda penetapan jumlah anggota di tiap komisi itu. "Karena hampir semua fraksi berpandangan sama, apakah bisa kita setujui untuk menunda penetapan anggota di komisi sampai (sidang) paripurna berikutnya?" tanya Fadli Zon yang memimpin sidang pada bagian ini. Jawaban "setuju" pun langsung berkumandang dari para peserta sidang.

Adapun soal jumlah komisi di DPR, tak hanya jumlahnya yang tak berubah, tetapi juga pembagian pembidangannya. "Jumlah 11 komisi tidak mengalami perubahan. Mengenai mitra kerjanya nanti ditetapkan setelah ada pembentukan atau pengumuman kabinet kementerian," kata Fadli.

Masing-masing komisi akan diisi antara 45 orang hingga 55 anggota. Penentuan anggota dilakukan secara proporsional dan menjadi wewenang setiap fraksi di DPR. Fadli menambahkan, jumlah alat kelengkapan dewan lainnya juga telah ditetapkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement