Ahad 12 Oct 2014 11:26 WIB

‘Tunanetra Pun Bisa Mandiri Berwirausaha’

Salah seorang pelajar penderita low vision (ilustrasi)
Foto: Antara
Salah seorang pelajar penderita low vision (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Fitri Nugrahaningrum dari Lombok dan Tantan Nurjaman dari Cimahi, adalah dua dari sekian banyak penyandang totally blind (TB) di Indonesia. Namun, kebutaannya itu, tak menyurutkan upaya mereka untuk terus berkreasi dan memberikan manfaat bagi orang lain.

Fitri berhasil menyelesaikan pendidikan S-2 Program Pengembangan Masyarakat di Universitas Sebelas Maret, Solo. Keinginan untuk membantu sesama diwujudkan dengan mendirikan pendidikan di luar sekolah tanpa dipungut bayaran.  Untuk membiayainya, Fitri merintis usaha konveksi, percetakan, bimbingan belajar.

Sedangkan Tantan Nurjaman yang alami penurunan penglihatan secara berangsur-angsur karena kecelakaan sejak usia 15 tahun hingga menjadi TB di usia 25 tahun. Hal ini tidak surutkan semangatnya untuk memiliki usaha sendiri sebagai kontraktor dan pemilik bengkel yang semakin berkembang setelah pensiun sebagai guru SLB A Citeureup, Kabupaten Bandung. Tantan juga aktif menjadi pengurus asrama Wyata Mandiri SLB Citeureup yang bertanggung jawab untuk mendanai keperluan 50 penghuni asramanya.   

Ya, dalam talk show/ bertajuk ‘Mandiri Berwirausaha’ pada puncak peringatan Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day - WSD) 2014 yang digelar Syamsi Dhuha Foundation (SDF) – LSM nirlaba peduli Low vision (Lovi) dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK UNPAD), keduanya memberikan terstimoni dan membagikan pengalamannya dalam berwirausaha dan menjadikannya mandiri secara finansial. Kegiatan ini digelar, Sabtu (11/10) di Auditorium RS Pendidikan UNPAD.

Tak hanya itu, menyadari bahwa kemandirian merupakan hal penting yang harus diupayakan sejak kecil, Juni 2014 yang lalu SDF fasilitasi pelatihan komputer bagi anak-anak penyandang Lovi dari berbagai daerah. Pelatihan keterampilan menjual juga diberikan bagi tunanetra pada September 2014 yang lalu.

“Saat ini, SDF sedang berupaya untuk bisa berproses dari LSM nirlaba menjadi social enterprise untuk bisa menjamin keberlangsungan lembaga dan tingkatkan kebermanfaatannya bagi masyarakat. Keterbatasan penglihatan tak harus batasi jiwa penyandangnya dan mereka akan tetap bisa produktif serta berdaya,” kata Ketua SDF Dian Syarief.  

Sementara Bambang Setiohadji, ahli mata dari PMN RSM Cicendo menjelaskan, pada 2014 adalah awal pencanangan Global Action Plan (GAP) 2014-2019. Yaitu, gerakan pencegahan kebutaan dan gangguan penglihatan yang bisa dicegah oleh The International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB), organisasi internasional yang aktif mendorong berbagai kegiatan pencegahan kebutaan termasuk penyelenggaraan WSD secara global.

GAP ini sudah disetujui oleh negara-negara anggota WHO untuk meningkatkan kesehatan mata bagi siapa saja (Universal Eye Health). Di seluruh dunia ada, 285 juta orang yang mengalami gangguan penglihatan dan 90 persen di antaranya tinggal di negara-negara berkembang.

“Sebenarnya empat dari lima kasus tersebut dapat dicegah,” kata dia. Karena itu, target GAP menurunkan 25 persen tingkat kebutaan dan gangguan penglihatan yang bisa dihindari pada tahun 2019, dengan melakukan pengumpulan data dari kasus-kasus yang sebelumnya, menambah pelatihan bagi tenaga medis terkait serta menyediakan pelayanan kesehatan mata terpadu yang mudah dijangkau masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement