Sabtu 11 Oct 2014 17:58 WIB

Perppu Pilkada Terancam Ciptakan Ketidakpastian Hukum

Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin
Foto: bawaslu.go.id
Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin mengatakan penerbitan Perppu Pilkada justru berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum.

"Sebab, dalam hal perppu dimaksud mendapatkan penolakan dari DPR, maka menurut pasal 52 ayat (6) UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan perppu itu menurut UU PPP harus dituangkan dalam RUU tentang Pencabutan Perppu," ujar Said di Jakarta, Sabtu (11/10).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada)

Menurut dia, Joko Widodo (Jokowi) yang nantinya menggantikan SBY mungkin saja tidak mau memberikan persetujuannya terhadap penetapan RUU tentang pencabutan Perppu Pilkada.

"Padahal, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama DPR dan presiden agar bisa ditetapkan menjadi undang-undang," kata dia.

Karena itu akan muncul potensi ketidakpastian hukum. Karena tidak mustahil akan terjadi deadlock.

"Agar permasalahan Perppu Pilkada nantinya tidak menjadi perseteruan politik antara DPR dan presiden yang bisa berdampak kepada ketidakpastian hukum penyelenggaraan pilkada 2015, maka menurut saya lebih tepat jika Perppu Pilkada tersebut diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum dimulainya masa persidangan DPR Januari 2015," kata dia.

Sebagai lembaga peradilan, lanjutnya, MK terbebas dari kepentingan politik. Sehingga dapat diandalkan untuk mencari solusi atas masalah perppu itu. Selain itu, ia mengatakan, motif penerbitan Perppu Pilkada tidak selaras dengan kehendak konstitusi.

Sebab, penerbitan perppu oleh SBY lebih didasari karena adanya perbedaan pandangan politik antara presiden yang menginginkan pilkada langsung dan DPR yang menginginkan pilkada melalui DPRD.

"Padahal, perbedaan sikap politik antara eksekutif dan legislatif seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan penerbitan perppu untuk membatalkan undang-undang," ujar dia.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement