REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pencairan dana operasional untuk para penghulu hingga kini masih belum jelas. Akibatnya, nasib para penghulu pun menjadi terkatung-katung menunggu dana tunjangan profesi dan transportasi mereka turun.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mendesak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) segera mencaikan dana operasional untuk penghulu. Menurut dia, jika tidak segera dicairkan, hal tersebut bisa menimbulkan permasalah baru. Salah satunya adalah kembali munculnya praktik gratifikasi
"Kemenkeu harus mempercepat pencairan ini," katanya kepada Republika, Rabu (24/9).
Ade melanjutkan, sejak diturunkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2014 kurang lebih tiga bulan lalu, penghulu kini mengalami nasib yang tidak jelas. Semua biaya transportasi masih ditanggung secara pribadi oleh para penghulu jika mencatatkan nikah di luar Kantor Urusan Agama (KUA).
Menurutnya jika ini dibiarkan terlalu lama maka bukan tidak mungkin praktik pungli atau gratifikasi akan kembali merebak di masyarakat. Hal ini justru bertolak belakang dengan semangat untuk menghilangkan praktik pungli dalam pernikahan, yang kemudian mewujud dalam PP Nomor 48 Tahun 2014 tersebut.
Ia mengatakan lamanya pencairan dana operasional untuk penghulu, harusnya tidak sampai terjadi. Sebab pemerintah seharusnya telah memperhitungkan secara matang dengan perencanaan yang baik.
"Jangan sampai gara-gara (pencairan) ini orang berpikir kembali 'terpaksa' melakukan gratifikasi," ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah penghulu yang tergabung dalam Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) mendatangi Kantor Kementerian Agama (Kemenag) di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Mereka mempertanyakan kejelasan dana tunjangan pencairan penghulu yang tak kunjung cair.
APRI memahami, dana tarif pencatatan nikah dari masyarakat sebesar Rp 600 ribu yang disetor ke kas negara termasuk ke dalam dana Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), makanya pencairannya harus melewati persetujuan dan diskusi dengan Menteri Keuangan.