Selasa 23 Sep 2014 19:42 WIB

Sinyal Perang Jokowi untuk Mafia Migas

Rep: Adi Wicaksono/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Kurtubi
Foto: primaonline
Kurtubi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Niat presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) agaknya bukan gertak sambal belaka. Tim transisi Jokowi-JK menyatakan, pemerintahan mendatang akan menutup Petral, anak usaha PT Pertamina (Persero) yang bertugas melakukan pengadaan minyak.

"Ini merupakan terapi kejut sekaligus sinyal bahwa pemerintahan mendatang serius untuk memberantas praktik mafia di sektor migas," kata pengamat migas sekaligus anggota DPR RI Terpilih 2014-2019 Partai Nasdem, Kurtubi, Selasa (24/9).

Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto, meyakini mafia migas banyak bersarang di Petral. Mafia migas juga diyakini sebagai faktor penghambat terwujudnya kedaulatan energi nasional. "Petral akan dibekukan dan dilakukan audit investigatif terhadapnya," ujar Hasto dalam siaran persnya.

Sebagai ganti penutupan Petral, pengadaan minyak mentah akan dilakukan langsung oleh Pertamina. Pengadaan tersebut akan dilakukan langsung di Jakarta. Sebab, kantor Petral di Singapura juga akan turut ditutup.

Hasto memaparkan, paket regulasi baru juga akan diterbitkan seiring dengan penutupan Petral. Regulasi baru diharapkan mampu menutup peluang munculnya praktik mafia yang baru di sektor migas. "Penindakan terhadap pelanggar hukum akan dilakukan dengan tegas tanpa pandang bulu," paparnya.

Untuk memudahkan pengawasan, imbuh Hasto, timnya akan menyiapkan konsep yang menjamin transparansi penunjukan wilayah kerja migas, perpanjangan kontrak, serta proses produksi. Pengawasan melalui auditor negara juga akan diperketat. "Rantai pasokan gas dipendekkan dengan memerintahkan produsen gas langsung menjual produknya ke pengguna akhir besar," ujarnya.

Hasto menambahkan, praktif mafia di sektor migas selama ini telah membebani APBN dalam memberikan subsidi energi kepada masyarakat. Padahal, subsidi BBM, gas, dan listrik adalah hak konstitusional rakyat. Pengelolaan subsidi yang kurang efisien dan tepat sasaran, lanjut Hasto, telah memperlemah daya saing Indonesia di kancah global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement