REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Nasional Perempuan menilai batasan waktu 40 hari bagi korban pemerkosaan yang diatur di dalam PP 61/2014 terlalu pendek. Sebab proses yang harus dilalui korban dan deteksi awal kehamilan, biasanya membutuhkan waktu lebih dari batasan tersebut.
“40 hari tidak masuk akal,” ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan Desti Murdijana, kepada Republika, di Jakarta, Senin (22/9).
Desti menyatakan, berdasarkan pengalaman di Komnas Perempuan deteksi kehamilan korban pemerkosaan baru diketahui setelah berusia dua bulan atau sekitar 60 hari. Korban pemerkosaan, kata dia, tidak langsung bisa mendeteksi kehamilan sebelum bulan kedua.
Bahkan di bulan kedua saat tidak hamil, kata dia, korban mengangap karena sedang mengalami stres akibat pemerkosaan. “Padahal dia hamil, tapi dia menganggap dia tidak haid karena stres,” ujar dia.
Selain itu, dia berusaha, agar penyidikan, pembuktian, pengumpulan barang bukti tidak berjalan lambat. Sebab kata dia, proses seperti itu biasanya berjalan lambat. “Komnas Ham hendak memastikan semua proses yang harus dilalui korban berjalan cepat,” ujar dia.
Desti juga mengkirtik kriteria di dalam PP Aborsi kurang jelas. Dia menyebut, kriteria rumah sakit yang boleh melayani kurang jelas. Demikian pula tugas dari petugas seperti penyidik kurang spesifik.
“Apakah ketika visum penyidik cukup, atau visum dan psikolog saja, atau gimana. Sebab prosesnya harus dipercepat, karena hanya dibatasi umur 40 hari,” ujar dia.
Selain itu dia juga membidik kesiapan pendamping korban pemerkosaan. Pendaming, menurut dia, harus sigap dalam melakukan pendampingan. Sebab, kata dia, proses konsultasi terhadap konselor berlangsung lama.
Untuk itu, kata Desti, Komnas Ham akan memastikan semua proses berjalan cepat. Sehingga korban pemerkosaan bisa menggunakan haknya yang ditur dalam PP 61/2014.