Selasa 16 Sep 2014 19:51 WIB

Jokowi Kaget Anggaran Riset di Indonesia Sangat Kecil

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Mansyur Faqih
Joko Widodo
Foto: EPA/Adi Weda
Joko Widodo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) kaget ketika mengetahui rendahnya anggaran untuk riset di Indonesia. Padahal, tak ada negara maju tanpa tradisi riset yang kuat.

Peristiwa itu terjadi saat ia menjadi pembicara dalam seminar bertajuk 'Menyambut Penguatan Lembaga Riset dalam Kebijakan Pemerintah dan Pembangunan Nasional' yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat itu, Jokowi bertanya pada Kepala LIPI Lukman Hakim mengenai anggaran riset yang ideal. 

"Anggaran untuk riset harusnya berapa, prof?" tanya Jokowi pada Lukman, Selasa (16/9). 

"Idealnya Rp 80 triliun, tapi sekarang kita baru Rp 10,4 triliun," jawab dia.

"Jauh sekali ya. Saya tidak janji bisa sampai Rp 80 triliun, tapi saya usahakan dilipatgandakan," kata Jokowi lagi yang langsung disambut tepuk tangan undangan yang hadir.

Meski demikian, Jokowi mengaku tak bisa langsung menaikkan anggaran riset hingga berlipat-lipat pada tahun pertama kepemimpinannya. Sebab, ruang fiskal yang tersedia dalam APBN 2015 sangat sempit.

Jokowi menilai, lembaga riset harus terus diperkuat untuk mendukung pembangunan negara. Dia menyebut, peneliti LIPI harus menemukan varietas baru padi yang lebih unggul agar sawah di Indonesia bisa berproduksi tinggi.

Sebab, kata Jokowi, dia menemukan fakta bahwa petani di Indonesia hanya bisa menghasilkan empat sampai enam ton beras dari satu hektare sawah. Padahal di negara lain bisa menghasilkan hingga 10 ton beras dari lahan dengan luas yang sama. 

"Apanya yang keliru? Menurut saya varietasnya yang tidak pernah diperbaharui. Sehingga petani hanya menggunakan benih dan bibit yang itu-itu saja," kata presiden terpilih yang baru akan dilantik pada 20 Oktober tersebut.

Begitu pula dengan teknologi di bidang pertanian. Jokowi bercerita, saat ia masih kecil, petani di kampungnya membajak sawah dengan bantuan tenaga kerbau. Kondisi itu rupanya tak berubah hingga berpuluh tahun kemudian. 

"Artinya petani itu belum tersentuh teknologi," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement