REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahalnya biaya pilkada dianggap isu yang tidak pas, bahkan menyesatkan. Karena, tak ada aturan standar mengenai perhitungan murah atau mahalnya pilkada.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dodi Ambardi menyebut, Rp 25 miliar diukur secara personal jelas mahal dan besar. Tapi tidak jika diukur dari proprosi APBD.
"Penyelenggaraan sebuah pilkada sekitar Rp 25 sampai Rp 50 miliar. Kalau APBD DKI Jakarta sebesar Rp 72 triliun, maka proporsi biaya pilkada hanyalah 0,0007 persen," kata dia kepada Republika, Kamis (11/9).
Ia menjelaskan, menghitung biaya pilkada harus secara proporsional. Artinya, ikut menghitung variabel jumlah penduduk dan luas daerah.
Apalagi, APBD setiap daerah juga berbeda. Semakin ke tengah atau di pusat ekonomi, maka APBD akan lebih besar.
"Dari sekian banyak pilkada langsung itu, perbandingan biaya penyelenggaraan dengan total APBD itu kecil sekali," tambah dia.
Dalam banyak kasus, katanya, tingginya biaya pilkada justru bukan dari sisi penyelenggaraan, melainkan pencalonan. Untuk penyelenggaraan, biayanya bisa diukur dan diperkirakan.
Tapi, tambah dia, pencalonan dan variabel yang tak terduga justru dari biaya kampanye politisi. Yaitu, anggaran yang sama sekali tidak berhubungan dengan uang negara.
"Ngapain mereka kasih pemilih duit, kasih serangan fajar, beli suara. itu yang bikin bengkak pengeluaran," tutur dia.
Ia menilai, sebagian besar politisi masih takut menggunakan cara membangun dukungan melalui program. Mereka malah memilih jalan pintas dengan cara membeli suara.
Masalah elite seperti ini, lanjutnya, yang membuat biaya pilkada menjadi mahal.
"Warga hanya memiliki kesempatan lima tahun sekali untuk mengontrol para kepala daerah. Lah kok kemudian dimatikan, dihapus," cetusnya.