REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyebutkan tren pelaku kejahatan korupsi sepanjang semester pertama tahun ini didominasi pejabat daerah.
"Selama Januari hingga Juni 2014 ada 86 pelaku korupsi di Indonesia dan 27 orang diantaranya adalah pegawai daerah," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat Korupsi) FH UGM Yogyakarta Hasrul Halili, Kamis (11/9).
Menurut dia, dengan tren ini maka pengawasan terhadap pejabat daerah harus segara ditingkatkan.
"Pencegahan korupsi di kalangan aparatur pemerintah harus menjadi prioritas. Dari tahun ke tahun, posisi pelaku korupsi banyak didominasi kelompok ini," katanya.
Ia mengatakan, tidak hanya pegawai negeri saja, tetapi monitoring dilakukan juga terhadap pihak swasta. Sebab selama ini, sangkaan korupsi yang ditujukan pejabat daerah hampir selalu melibatkan swasta selaku penyedia barang dan jasa.
"Jika pengawasan hanya ditekankan kepada pegawai daerah, maka pihak swasta masih memiliki kesempatan menyuap. Demikian sebaliknya, jika monitoring hanya fokus pada swasta, kalangan pejabat daerah akan berpotensi menyalahgunakan wewenang," katanya.
Peneliti Pukat Korupsi UGM Hifdzil Alim mengatakan, dari hasil kajian pihaknya, dalam kurun satu setengah tahun terakhir, posisi dua tertinggi pelaku tindak pidana korupsi selalu diisi pejabat daerah dan swasta.
"Semester awal tahun ini, pelaku usaha swata menduduki peringkat dua dengan jumlah 21 orang. Sementara, tren semester dua pada 2013 menunjukkan posisi pertama koruptor diisi oleh pihak swasta sebanyak 22 orang, kemudian aparat negara 18 orang.
"Pada tahun yang sama, periode semester sebelumnya, keterlibatan pegawai daerah dan swasta tercatat masing-masing 39 dan 36 orang. Dengan melihat data itu, dapat dimaknai pencegahan korupsi di pemerintahan daerah kurang berhasil," katanya.
Ia mengatakan, meski sudah ada Inpres Nomer 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, realisasinya di lapangan belum optimal.
"Dalam mekanisme laporan, setiap pemda diwajibkan membentuk rencana aksi pemberantasan tipikor. Tapi kenyataannya, belum semua daerah mematuhi aturan itu," katanya.
Ia mengatakan, upaya memberikan efek jera, disarankan adanya sanksi oleh pemerintah pusat bagi pemda yang melanggar peraturan.
"Semisal dengan mengurangi dana perimbangan," katanya.