REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Penelitian The Jokowi Institute, Muhammad Sadli Andi Pria mengatakan, janji kampanye Jokowi terkait ide penghematan mudah disampaikan karena tidak dalam kondisi 'tertekan' secara politik.
Namun sekarang ini sepertinya bisa-bisa hal itu tidak terwujud akibat tekanan politik. Itu terlihat dari pemikiran wakil presiden Jusuf Kalla (JK) untuk tetap mempertahankan 34 Kementerian. "Pemikiran itu sudah 'memenangi' ide perampingan," paparnya, di Jakarta, Rabu (10/9).
Dia menyatakan hal itu harus dilawan oleh Jokowi. Jangan sampai publik melihat tidak ada beda era Jokowi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sekarang ini, gejala untuk mengingkari penghematan sudah sangat kuat sampai-sampai menggunakan berbagai analisa yang terkesan rasional. Bahkan ungkapan untuk memaksimalkan kinerja 34 Kementerian seperti jadi sesuatu hal yang baik.
Padahal itu adalah penyesatan. "Kami duga JK sebenarnya hendak menyatakan 'tidak perlu dilakukan efisiensi'. Ini berbahaya bagi pemerintahan," tambah Andi.
Pengingkaran efisiensi semakin lugas didengungkan terlihat dari individu politisi yang baru saja merapat ke Jokowi. "Mereka terlihat tidak berniat untuk melakukan penghematan APBN dari sisi pemerintahan karena mereka takut tidak terakomodasi," ungkapnya.
Padahal, jangankan perampingan kabinet, keberadaan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) saja harus dileburkan ke dalam kabinet agar terjadi efisiensi dan tidak ada manipulasi kinerja.
Artinya jangan sampai karena Jokowi mengingkari efisiensi yang dibisikkan oleh brutus lantas kemudian dia terperangkap dagang sapi, sela peneliti itu.