REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Koalisi LSM (lembaga swadaya masyarakat) mendesak pemerintah dan DPR harus menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat. Lantaran UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 dinilai masih relevan dengan kondisi dan situasi saat ini.
"Kedepan, pembahasan RUU ini tidak dilanjutkan," ujar Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional Universitas Trisaksi (Usakti) David Tobing dalam seminar bertajuk "Quo Vadis Advokat Indonesia" di Usakti, Selasa (9/9).
Koordinator Komisi II BPKN ini menilai, keberadaan UU Advokat saat ini sudah mendukung proses standarisasi dan kualitas pemberian jasa hukum oleh advokat. Ini bisa dilakukan jika menerapkan singlr bar atau satu standardisasi.
"Jika RUU Advokat diloloskan, maka RUU tersebut berpotensi mengancam eksistensi standar mutu advokat dan akhirnya berujung pada buruknya jaminin perlindungan konsumen," ujar David.
RUU Advokat dinilainya, akan memicu ketidakpastian hukum, karena tidak ada satu lembaga khusus untuk memonitoring dan mengevaluasi advokat. Hal itu bakal terjadi karena jika RUU tersebut disahkan, maka akan menerapkan sistem multi bar yang memungkinkan setiap organisasi advokat dapat membuat dewan kehormatan.
Sementara itu,Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) harus diaudit terlebih dahulu sebelum membuat UU. Lantaran Peradi sebagai wadah advokat harus dimintai pertanggungjawaban.
"Banyak kejanggalan dalam pembuatan RUU tersebut karena tidak dilengkapi naskah akademik dan tidak adanya audit terlebih dahulu terhadap lembaga atau wadah advokat yang ada saat ini. Mereka harus lakukan audit apa kekurangan dan kelebihan peradi sehingga uu yang ada saat ini harus diubah,"kata Haris.
Hariz menjelaskan, pasal-pasal yang ada dalam RUU yang sedang dibahas saat ini sarat kepentingan pemerintah dan DPR. Salah satunya seperti pembentukan Dewan Advokat Nasional yang digaji oleh pemerintah.
"Bagaimana seorang yang digaji pemerintah bisa melawan yang memberi gaji jika terjadi masalah dengan pemerintah,"tegas Haris.