REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPP PDI Perjuangan menilai pengubahan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) dari langsung menjadi tak langsung dalam RUU Pilkada sebagai kemunduran demokrasi.
"Jelas ini kemunduran," kata Ketua Bidang Hukum DPP PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan.
Trimedya mengakui pilkada langsung memiliki sejumlah kelemahan. Dari sisi biaya pilkada misalnya, seorang calon kepala daerah bupati/walikota bisa menghabiskan sekitar Rp 20 miliar.
Sedangkang seorang calon gubernur bisa menghabiskan hingga Rp 100 miliar. "Ada kelemahan dari pemilihan langsung ini dan biayanyanya lebih tinggi, iya," ujar Trimedya.
Namun begitu biaya tinggi tidak serta merta dapat dijadikan pembenaran pilkada melalui DPRD lebih baik daripada pilkada langsung.
Trimedya mengatakan tidak ada jaminan pemilu tak langsung alias melalui DPRD bisa berbiaya rendah dan bebas kecurangan.
Bisa saja untuk mendapatkan dukungan 50+1 dari anggota DPRD, seorang kepala daerah menggunakan kekuatan uang. "Kalau seorang anggota dewan minta Rp 500 juta atau Rp 1 miliar itu kan biayanya lebih tinggi," kata Trimedya.
Berkaca dari pandangan tersebut, Trimedya menilai pilkada melalui DPRD akan membuka ruang transaksional terjadinya korupsi.
Dia berharap berbagai kelemahan yang ada pilkada langsung bisa diperbaiki tanpa harus menjadikan pilkada melalui DPRD.
"Rakyat ini harus diberikan pendidikan politik. Ini visi misi demokrasi yang mesti kita lewati," ujar Trimedya.