REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dipastikan berimplikasi terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Mau tidak mau, kenaikan harga BBM Bersubsidi harus dilakukan di masa awal pemerintahan Jokowi-JK.
"Jokowi harus melihat kapan kenaikan harga BBM bisa dilakukan, karena memang tidak bisa dielakkan lagi,” kata Pengamat Politik Indobarometer, Muhammad Qodari saat dihubungi Republika, Kamis (28/8).
Saat mengambil kebijakan itu nantinya, Jokowi harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, penghematan dan efisiensi di segala bidang.
Jika Jokowi bisa menambah pendapatan negara dari sektor lain, kenaikan harga BBM dimungkinkan tidak terlalu tinggi. “Masyarakat melihat Jokowi tidak akan menaikkan harga BBM dengan serta merta tanpa ada ikhtiar lain,” imbuhnya.
Kedua, Jokowi harus mempersiapkan kampanye publik tentang kenaikan harga BBM agar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.
Ketiga, Jokowi harus mempersiapkan program-program jaring pengaman sosial sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak jangka pendek kenaikan harga BBM. Dalam membuat program jaring pengaman sosial, Jokowi bisa mengacu pada program yang dilakukan pada pemerintahan SBY.
“Sebisa mungkin ketiga hal itu dibuat kerangka waktunya. Misalnya program efisiensi, kampanye publik dan menyiapkan jarring sosial berapa lama. Yang butuh waktu lebih lama efisiensi dan kampanye publik,” imbuhnya.
Jokowi juga harus memperhatikan bagaimana penyaluran BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Pola pada pemerintahan SBY diharapkan menjadi pembelajaran bagi pemerintahan Jokowi.
“Yang lebih penting itu hitung-hitungan mengenai bagaimana efisiensi bisa dilakukan. Karena itu tidak terlalu kuat di pemerintahan SBY, bagaimana Jokowi bisa membuat jurus-jurus baru untuk efisiensi,” terangnya.