REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni'matul Huda, menyatakan, rasanya sulit putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pilpres untuk mengubah hasil rekapitulasi suara KPU. Pemenang pilpres sepertinya akan tetap di tangan pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla.
"Misalkan besok putusannya pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah, apakah nantinya bisa pasangan yang kalah mengungguli delapan juta suara pemenang versi rekap KPU?" paparnya, saat dihubungi, Rabu (20/8). Dia menyatakan, sangat sulit untuk mencapai itu.
Saat ini pihaknya meminta kepada siapapun untuk tidak berandai-andai terkait putusan MK. Kalau misalkan sebagian permohonan diterima dan sebagian lainnya ditolak, apa dampaknya. "Permohonan yang mana yang diterima dan ditolak, kita juga belum tahu," ucap Ni'matul.
Selama proses persidangan, pihaknya belum melihat proses pembuktian pihak pemohon dan termohon. Diajukan keberatan terhadap hasil rekap di Nias. Kemudian, KPU sekadar membantah. "Mana pembuktiannya," tanya Ni'matul.
Kemudian, yang selalu dipersoalkan adalah soal noken di Papua. MK sudah pernah memutus noken diperbolehkan. "Kalau kemudian noken ini dinilai sebagai kecurangan, maka sama saja MK menegasi putusan sebelumnya. MK sudah pernah memutus noken, dan tidak mempermasalahkan," imbuhnya.
Menurutnya, sengketa pilpres di MK menjadi momentum yang menentukan integritas bangsa Indonesia. Jika MK salah menerapkan hukum dan berdampak secara ekstrim terhadap hasil Pilpres, maka konflik berkepanjangan akan menjadi pertaruhan keutuhan bangsa ini.