REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menandatangani nota kesepahaman untuk penerapan pengendalian gratifikasi di lembaga Kepolisian.
"Acara hari ini kita ingin memberi pemahaman secara utuh kepada setiap anggota kepolisian mengenai gratifikasi. Jangankan masyarakat awam banyak anggota kepolisian pun yang belum paham tentang gratifikasi secara utuh," kata Ketua KPK Abraham Samad di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19/8).
Menurut Abraham, dengan ditandatanganinya nota kesepahaman tersebut, pihaknya dapat menyosialisasikan tentang penerapan pengendalian gratifikasi bagi para anggota Kepolisian.
"Bila anggota Polri sudah paham tentang gratifikasi, ke depannya bisa dilakukan langkah-langkah persuasif untuk mengatasinya," ujarnya.
Ketua KPK menyebutkan, bila suatu tindakan suap atau gratifikasi tidak dilaporkan dalam waktu 30 hari, maka hal itu sudah masuk dalam tindak pidana korupsi, sehingga baik penerima maupun pemberi suap bisa dipidanakan.
Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman mengatakan dengan adanya nota kesepahaman pengendalian gratifikasi tersebut, maka setiap anggota Polri harus menolak pemberian dalam bentuk apa pun.
"Sebagai contoh, bila anak seorang anggota Polri menikah maka sudah ada tulisan di depan 'tidak menerima sesuatu'. Jadi sudah ada keinginan dari anggota kita untuk menolaknya," jelas Sutarman.
KPK saat ini sedang berupaya mensosialisasikan penerapan pengendalian gratifikasi di institusi-institusi pemerintahan hingga lembaga hukum.
Bahkan, Polri setuju melibatkan KPK dalam memerangi gratifikasi di tubuh kepolisian.
Pencegahan gratifikasi telah diatur dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.