REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saksi ahli yang dihadirkan tim kuasa hukum Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Dwi Martono, menyebutkan empat kelemahan KPU dalam penyelenggaraan pilpres. Hal ini membuat penyelenggaraan pilpres tidak maksimal.
"Pertama adalah gagal menyampaikan informasi mengenai pemilu secara utuh. Kedua, KPU dianggap tak mampu menjaga otoritasnya, terutama dalam mengelola tahapan pemilu," jelas Dwi yang mengaku pernah menjadi anggota KPUD, di Jakarta, Jumat (15/8).
Dwi menyayangkan minimnya peran KPU dalam menekan pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. Pihaknya mengaku fokus mengkaji permasalahan pemilu dan intens di bidang sistem teknologi pemilu.
Dwi tidak mengungkap pelanggaran yang dimaksud, tetapi tetap berpendapat KPU harus mampu berperan dalam upaya menekan potensi terjadinya pelanggaran tersebut.
Ketiga, KPU dinilainya tidak mampu menempatkan diri dalam pelanggaran pemilu dan keempat, KPU dinilainya mencederai hak politik warga negara. Hal ini ditandai dengan banyaknya rekomendasi Bawaslu yang diabaikan KPU. Ini membuat tercederainya hak konstitusi warga negara.
Pada awal memberikan pendapatnya, Dwi mengenalkan diri kepada majelis hakim konstitusi mengenai kapasitasnya yang diajukan sebagai ahli oleh tim kuasa hukum Prabowo-Hatta. Ia mengaku sebagai mantan anggota KPU Kota Batu, Provinsi Jawa Timur, periode 2003-2009.