REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada sidang keempat perselisihan hasil pemilu presiden di Mahkamah Konstitusi, anggota kelompok panitia pemungutan suara (KPPS) TPS 03, Desa Bawehalusa, Nias Selatan memberikan kesaksian sebagai saksi dari tim Prabowo-Hatta. Saksi bernama Santoniha Duaha itu mengaku telah mencobloskan sisa surat suara bersama-sama enam anggota KPPS lainnya pada pemungutan suara 9 Juli kemarin.
Santoniha menjelaskan, di TPS 03 jumlah DPT sebanyak 99 orang. Pemilih yang datang ke TPS tercatat 42 orang. Namun, jumlah suara sah sebanyak 100 suara. Dengan perolehan pasangan calon nomor satu Prabowo-Hatta sebanyak 32 suara. Dan pasangan nomor dua Jokowi-JK sebanyak 68 suara.
Ketidaksingkronan jumlah DPT dengan jumlah suara sah tersebut, dijelaskannya tidak lepas dari campur tangan KPPS. "Anggota KPPS mencoblos sendiri sisa surat suara untuk pasangan calon nomor 2. Saya coblos 6 lembar, yang lain dibagi-bagi atas kesepakatan bersama," kata Santoniha dalam sidang, di Gedung MK, Jakarta, Selasa (12/8).
Aktifitas mencoblos surat suara tersisa tersebut, menurutnyta dilakukan setelah pemungutan suara di TPS selesai. Saat itu, saksi pasangan Prabowo-Hatta juga tidak berada di TPS.
"Saksi nomor 1 tidak tahu pencoblosan itu. Dia memang sudah datang jam 7 pagi, tapi saat (kami) mencoblos mereka tidak tahu," ujarnya.
Menanggapi keterangan Santoniha yang berstatus sebagai penyelenggara pemilu tersebut, Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, KPU pusat tidak pernah mengetahui dan mendapatkan laporan sebelum sidang di MK ini. Menurut Ida, tindakan anggota KPPS tersebut bisa dikenakan sanksi pidana.
"Itu bisa ditindaklanjuti dengan penegakan hukum pidana. Sejauh ini KPU pusat belum mendengar hal itu dan melalui fakta persidangan itu akan ditindaklanjuti," kata Ida.