Sabtu 09 Aug 2014 07:31 WIB

PP Kesehatan Reproduksi Atur Aborsi Akibat Perkosaan

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Esthi Maharani
Aborsi
Aborsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi.  Dalam PP tersebut diatur pula masalah aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan.

Pengaturan ini mengacu pada UU 36/2009 pasal 75 ayat 1 yang menyebutkan setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.  

Dalam pasal 31 ayat 2 disebutkan tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan bila kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Indikasi kedaruratan meliputi sejumlah kondisi antara lain kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan atau kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

Penentuan indikasi kedaruratan medis, berdasarkan pasal 33 ayat 1 dan 2, dilakukan oleh tim kelayakan aborsi yang dilakukan paling sedikit terdiri dari dua orang tenaga kesehatan yang diketuai dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.  

Terkait kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.  

Hal itu dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter serta keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan.  

Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu dan bertanggung jawab.  Prakteknya dilakukan oleh dokter sesuai standar dan harus memenuhi syarat yang ditetapkan Menteri Kesehatan.

Selain itu, praktek dilakukan atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan, dengan izin suami (kecuali korban perkosaan), tidak diskriminatif dan tidak mengutamakan imbalan materi.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement