REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Institut Madani Nusantara Prof Nanat Fatah Natsir menilai momentum klarifikasi yang disampaikan mantan Menhankam/Pangab Jenderal (Purn) Wiranto terkait kasus penculikan aktivis pada 1998 adalah tidak tepat. Tak hanya itu, ia juga beranggapan tindakan Wiranto diduga sarat muatan politik.
"Sayang klarifikasi itu disampaikan menjelang pilpres sehingga mengurangi orisinalitas dan niat baik yang mungkin ingin dilakukannya," katanya, Kamis (19/6).
Mantan Rektor UIN Bandung itu mengatakan peristiwa tersebut sudah terjadi 16 tahun. Karena itu, Nanat mempertanyakan niat Wiranto yang baru memberikan klarifikasi.
"Kenapa baru sekarang, ketika mendekati pilpres dan Prabowo menjadi salah satu capres yang berpeluang menang. Niat baik Wiranto itu akhirnya cenderung ditanggapi rakyat sebagai muatan politik untuk menjegal Prabowo menjadi presiden," katanya.
Nanat juga mempertanyakan mengapa hal itu juga tidak dipersoalkan lima tahun lalu, ketika Prabowo menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati Sukarnoputri pada Pemilu Presiden 2009.
"KPU sudah meloloskan Prabowo sebagai calon wakil presiden pada 2009 dan calon presiden pada 2014. Itu berarti memang tidak ada persoalan," katanya.
Di sisi lain, Nanat mengatakan Prabowo juga masih menerima uang pensiun sebesar Rp3 juta. Bila memang Prabowo diberhentikan secara tidak hormat, tentu dia tidak berhak menerima uang pensiun.
Sebelumnya, mantan Menhankam/Panglima ABRI Wiranto mengatakan penculikan aktivis 1998 merupakan inisiatif pribadi Prabowo Subianto selaku Danjen Kopassus kala itu, dan telah diakui secara langsung oleh yang bersangkutan.
"Seingat saya pada saat menanyakan langsung kepada Letjen Prabowo saat itu, tentang siapa yang memberi perintah (penculikan), yang bersangkutan mengaku bahwa apa yang dilakukannya bukan perintah panglima, namun merupakan inisiatifnya sendiri dari hasil analisa keadaan saat itu," kata Wiranto.