REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Muhammad Imdadun Rahmat menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri tentang pendirian rumah ibadah justru mempersulit umat beragama untuk mendapatkan rumah ibadah. Lantaran kondisi tersebut, SKB diminta untuk ditinjau kembali.
"Dalam jangka panjang, memang aturan yang memberatkan ini perlu ditinjau kembali," ujarnya ditemui seusai kunjungan ke Pemerintah Kabupaten Sleman, Jumat (13/6).
Imdadun mengaku Komnas HAM sudah beberapa kali mengajukan pokok-pokok pikiran untuk meninjau kembali SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang terbit pada 2006 tersebut. Kesulitan mendirikan rumah ibadah dinilai bukan hanya masalah umat non-muslim. Umat Islam yang tinggal di wilayah mayoritas non-muslim juga mengalami kesulitan mendirikan tempat ibadah.
Pendirian rumah ibadah dinilai menjadi pokok permasalahan dalam hubungan antaragama dari Aceh hingga Papua. Di Aceh, tempat ibadah non-muslim seperti gereja, pura, dan Klenteng sulit didirikan. Sementara, di wilayah Bali ke timur, tempat ibadah umat Islam (Masjid dan Mushola) sulit dibangun. Bahkan, perguruan tinggi Islam dan Islamic Center menemui hambatan pembangunan di Papua.
Syarat pendirian rumah ibadah dalam SKB tersebut yang dinilai memberatkan diantaranya daftar nama 90 pengguna rumah ibadah, dukungan masyarakat paling sedikit 60 orang yang disahkan lurah, rekomendasi kepala kantor departemen agama kabupaten, dan rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama. "Kesulitan mendirikan tempat ibadah tidak hanya masalah warga non-muslim, tetapi juga muslim artinya ini menjadi masalah seluruh bangsa Indonesia," ungkapnya.