REPUBLIKA.CO.ID SURABAYA -- Para pekerja seks komersial (PSK) dan front pekerja lokalisasi (FPL) lokalisasi prostitusi Dolly di depan Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia, Dianto Bachriadi menyatakan menolak penutupan prostitusi Dolly pada 18 Juni 2014.
Seorang PSK Santi mengatakan, keberadaannya di Dolly tidak main-main yaitu mencari nafkah untuk diri sendiri, anak, dan keluarganya. Untuk itu, ia menolak keras rencana penutupan Dolly meski diberi janji kompensasi.
“Untuk itu, kamu harus menolak penutupan ini. Kita harus berjuang untuk diri sndiri,anak, keluarga,” katanya berapi-api di depan Dianto dan ratusan PSK di Gang Dolly, Kamis (12/6).
Sementara itu, anggota Front Pekerja Lokalisasi (FPL) dan Koordinator Komunitas Pemuda Independen (KOPI), Saputra alias Pokemon Pokemon mengapresiasi Komnas HAM sudah merespon undangan pihaknya yang bersedia datang meninjau Dolly.
“Sementara surat yang kami kirim untuk Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Gubernur Jatim Soekarwo, dan Kepala Dinas Sosial Surabaya Soepomo ternyata tidak ditanggapi. Hari ini mereka bertiga juga tidak datang,” katanya.
Dia menuding bahwa Risma memang anti rakyat. Merasa tak bisa diajak dialog, FPL memastikan bahwa akan melawan segala bentuk penutupan Dolly.
Sementara itu, Dianto mengatakan, ia bersama dua temannya dari Komnas HAM hari ini memang sengaja untuk datang ke Dolly untuk membalas undangan kunjungan sekaligus memantau keadaan Dolly. Hasilnya, kata dia, rencana penutupan Dolly mendapat penolakan dari PSK dan mucikari sehingga berpotensi menyebabkan konflik.
Padahal, dia melanjutkan, penutupan lokalisasi prostitusi di Bandung, Jawa Barat, berjalan lancar tanpa adanya gejolak. Artinya, Pemerintah Kota Surabaya dinilai pihaknya tidak memiliki manajemen penutupan yang baik. Ini bisa dilihat dari tidak adanya dialog antara pemerintah dengan warga di Dolly.
‘’Padahal pemerintah seharusnya memiliki manajamen yang baik dan terencana. Sehingga Dolly dapat ditutup dengan bijaksana,’’ katanya.
Untuk itu, pihaknya menghormati segala bentuk aspirasi warga Dolly, termasuk PSK maupun FPL.
Kemudian hasil pantauan dan aspirasi itu akan disampaikan saat audiensi dengan Risma di Surabaya, Jumat (13/6). Komnas HAM juga akan memberikan rekomendasi dan pandangan resmi ke Risma sekaligus mengumumkan sikap resmi Komnas HAM terkait penutupan Dolly.
“Karena bagaimanapun penutupan harus dilakukan secara bijaksana, baik dan tidak menimbulkan dampak buruk,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, setiap orang memiliki hak asasi manusia (HAM) dan HAM itu harus ditegakkan, tidak peduli siapapun dia. Apalagi, dia melanjutkan, perempuan yang terpaksa menjadi PSK karena memiliki tugas berat menyekolahkan anak.