Jumat 30 May 2014 04:45 WIB

Balai Sungai NTT Bangun 66 Sumur Bor

Air minum
Foto: .
Air minum

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II sudah membangun sekitar 66 unit sumur bor di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) guna mengatasi kekurangan air baik untuk irigasi maupun air bersih.

Sebanyak 66 sumur bor itu selain untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk setempat, juga dimanfaatkan mengairi irigasi di 57 titik dan air baku 35 titik untuk kepentingan mencetak sawah baru yang selama ini terkendala kurangnya akses irigasi pada musim gadu tanaman padi" kata Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II, Charisal A.Manu di Kupang, Kamis.

Selain itu, katanya, pembangunan sumur bor tersebut bertujuan untuk menjamin kesinambungan peningkatan produksi dan ketahanan pangan di tengah minimnya ketersediaan air yang memadai.

Dia menjelaskan, wilayah Kabupaten Kupang seluas 542.397 hektare tercatat 18.787 hektare atau 3,48 persen merupakan tanah sawah dan sisanya adalah lahan kering.

Sementara, tanah sawah yang berpengairan ataupun tidak dan sebagiannya tanah kering merupakan potensi produksi tanaman padi, palawija, hortikultura, termasuk sayur-sayuran serta buah-buahan.

Menurutnya, manfaat dari adanya Jaringan Irigasi Air Tanah (JIAT) ini sangat terasa pada saat kekeringan, di mana masyarakat tidak mengalami kendala dalam upaya memenuhi kebutuhan air untuk pengairan dan air bersih.

"Kekeringan yang berdampak pada gagal panen di Kabupaten Kupang diakibatkan oleh berkurangnya potensi air permukaan sehingga satu-satunya harapan adalah menafaatkan potensi air tanah" ujarnya.

Kondisi wilayah Kabupaten Kupang, katanya, yang relatif kering dan minimnya sarana irigasi air permukaan, mengharuskan dilakukan upaya pemanfaatan potensi air tanah pada daerah-daerah yang memiliki potensi air tanah untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan ketahanan pangan.

Kekurangan air bersih di pedesaan di Kabupaten Kupang, merupakan salah satu penyebab rendahnya kesejahteraan masyarakat pedesaan.

"Untuk itu, Pengembangan Air Tanah NTT mengupayakan pemanfaatan potensi air tanah guna memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat kabupaten Kupang," paparnya.

Di NTT mayoritas penduduk yang berprofesi petani 3.042.780 orang atau mencapai 64,74 persen dari total 4,7 juta penduduk NTT itu memiliki potensi lahan kering seluas sekitar 2.379.005 ha dan potensi lahan basah mencapai 127.308 Hektare," katanya di Kupang, Rabu.

Dari total luas lahan tersebut pemanfaatan untuk lahan kering baru sekitar 1.556.155 ha atau 65,41 persen sedangkan lahan basah mencapai 126.993 ha atau 51,33 persen, sehingga perlu didorong untuklebih dioptimalkan lagi untuk kesejahteraan bersama terutama para petani.

Ia mengatakan pada lahan-lahan kering yang tingkat retensi air tanahnya tidak memungkinkan lagi untuk menanam tanaman pangan secara rutin, banyak yang mengembangkan teknologi kearifan lokal, misalnya menggali sumur, untuk sumber penyiraman tanaman yang sedang dikembangkannya.

Bahkan banyak dijumpai mengembangkan semacam "irigasi tetes" pada batang-batang bambu yang ditutupi dengan sabut kelapa untuk menjaga agar air bisa menetes membasahi tanaman secara perlahan-lahan, dan mengisinya kembali manakala wadah air di potongan bambu itu kosong.

"Ini bukan hanya dikembangkan untuk tanakam keras, bahkan juga untuk tanaman pangan yang cukup produktif," katanya.

Tanpa intervensi upayan pemberian air irigasi beberapa tanaman pangan di lahan kering masih jauh lebih rendah daripada potensi produksi manakala tuntutan prasarananya dipenuhi.

Misalnya, produksi jagung yang relatif tinggi dijumpai di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, misalnya mencapai masing-masing 2,77; 2,59; dan 2,50 ton/ha, sedangkan di tempat lainnya, seperti Bali, NTT, Kalimantan, Maluku, dan Papua sangat rendah, hanya berkisar rata-rata antara 1,40 - 2,09 ton/ha.

Demikian juga dengan produksi kacang tanah dan kedelai berkisar sama, berkisar masing-masing antara 0,95 - 1,09 ton/ha dan 1,09 - 1,23 ton/ha. Sementara itu, untuk produksi ketela pohon dan ketela rambat juga sangat rendah, berkisar masing-masing hanya antara 9,6 - 13,3 dan 8,0 - 10,9 ton/ha.

Dari fakta produksi tanpa intervensi pemberian air irigasi tersebut di atas, kami berpendapat bahwa penerapan teknologi irigasi hemat air (antara lain irigasi mikro, yang pada dasarnya sudah berbasis kearifan lokal) apalagi bila ditunjang dengan teknologi pertanaman yang sesuai maka produksi tanaman dapat ditingkatkan hingga mendekati potensi produksinya yang optimum.

Disini dapat dimaklumi bahwa peluang untuk meningkatkan produksi tanaman pangan maupun tanaman tahunan yang berpotensi mendukung ketahanan pangan secara tidak langsung di lahan kering sangat besar melalui penerapan teknologi irigasi mikro dan teknologi pertanaman berbasis kearifan lokal lainnya.

Bahkan melalui pengembangan teknologi berbasis kearifan lokal ini sangat potential mendukung ketahanan pangan bahkan industri pertanian (agrobased industry) secara modern pada masa-masa dekat mendatang.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement