Rabu 14 May 2014 09:41 WIB

AJI Nilai Penguasaan Frekuensi Publik Bahayakan Demokrasi

Frekuensi Radio
Foto: wordpress.com
Frekuensi Radio

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Ketua Aliansi Jurnalis Independen Bandarlampung, Yoso Muliawan mengatakan, penguasaan frekuensi publik oleh segelintir pengusaha media akan membahayakan kehidupan demokrasi.

"Isu krusial media massa pada era demokrasi di Indonesia sekarang adalah konglomerasi media, sehingga kebanyakan media massa terutama televisi dimiliki dan dikuasai oleh segelintir pengusaha yang aktif di dunia politik praktis sebagai ketua atau petinggi partai politik," katanya di Bandarlampung, Rabu.

Yoso yang juga Sekretaris Komite Civic Education for Future Indonesian Leaders (CEFIL) Lampung itu menegaskan, bagi kehidupan demokrasi, kondisi seperti itu akan membahayakan.

"Akibatnya masyarakat akhirnya dibatasi haknya untuk mendapatkan informasi, karena dihadapkan pada tayangan sosialisasi dan kampanye politik pemilik media seperti itu," ujarnya.

Para jurnalis yang bekerja di media itu pun, dihadapkan pada dilema idealisme, antara menjaga kepercayaan publik serta menyuguhkan informasi yang benar, dengan menjalankan instruksi institusi medianya untuk meliput kegiatan pemilik media yang akhirnya akan merebut frekuensi publik.

"Pada praktiknya, mereka kerap kali menggunakan medianya untuk kepentingan pribadi. Salah satunya adalah menayangkan sosialisasi dan kampanye untuk partai maupun pencalonan dirinya dalam agenda politik, seperti pemilihan presiden dan tayangan tersebut biasanya dalam durasi yang cukup lama," ucapnya.

Dalam konteks ini, lanjutnya, mereka telah merebut frekuensi publik sehingga publik yang semestinya memiliki hak untuk mendapatkan informasi, tetapi malah disuguhkan tontonan sosialisasi dan kampanye politik pemilik media dalam durasi yang tidak proporsional dan belum tentu utuh kebenarannya.

Menurut akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung, Dr Wahyu Sasongko SH MH, media massa yang merupakan pilar keempat demokrasi sebagai pengawas atau watchdog, sekarang telah bergeser perannya.

"Sejumlah praktisi media internasional bahkan menilai Indonesia dengan kebebasan persnya sangat longgar, tetapi wartawannya masih diancam tindak kekerasan, apalagi media mainstream secara nasional saat ini umumnya dimiliki oleh pimpinan partai politik tertentu," kata Wahyu.

Dia berharap, media massa dan elemen prodemokrasi di Lampung terus aktif mengkritisi berbagai persoalan menyangkut kepentingan publik yang berjalan menyimpang dan perlu diluruskan kembali, agar rakyat tidak selalu dikorbankan serta praktik demokrasi menjadi semakin kuat berjalan secara benar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement