REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Partai Gerindra menyindir konsep koalisi ramping yang digagas PDIP. Bagi Gerindra, koalisi ramping yang melibatkan sedikit partai akan membuat pemerintahan tidak berjalan efektif.
"Koalisi ramping praktiknya akan berat dijalankan," kata Sekretaris Jendral DPP Gerindra, Achmad Muzani dalam diskusi 'Membaca Arah Koalisi Pasca Pileg' di Habibie Center, Jakarta Selatan, Rabu (30/4).
Muzani mengatakan pemerintahan yang efektif mesti didukung sedikitnya 50 persen plus 1 kekuatan partai politik di parlemen. Ini karena berbagai program dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mesti dibahas dan mendapat persetujuan dari DPR.
"Soal pengajuan anggaran dari pemerintah misalnya, pembahasan dilakukan bersama DPR dan pemerinta. Bagaimana kalau DPR tidak menyetujui?" ujar Muzani.
Berangkat dari pemahaman itu, Muzani menyatakan Gerindra akan membangun koalisi besar dalam mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres). Menurutnya Gerindra tidak ingin koalisi yang dibangun hanya sebatas untuk memenuhi syarat presidential threshold menjadikan Prabowo capres.
"Kalau cuma untuk mengantar tiket capres, kami cukup berkoalisi dengan satu partai. Tapi kami tidak mau seperti itu," kata Muzani.
Muzani memastikan koalisi besar yang dibangun Gerindra tidak akan mengulang kesalahan koalisi yang dibangun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurutnya koalisi SBY cenderung tidak efektif dan tersandera justru karena SBY tidak menjalankan fungsinya secara utuh sebagai kepala pemerintahan.
Muzani menjelaskan seorang presiden mestinya memegang penuh kendali pemerintahan. Presiden memiliki otoritas untuk mengatur para pembantunya di level menteri. Namun yang terjadi sekarang, SBY tidak mampu mengatur para menteri yang menjadi pembantunya.
"Kebijakan mestinya berasal dari presiden bukan dari menteri yang berasal dari partai," kata Muzani.