REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Arif Satria mengatakan perilaku seksual yang melapiaskan hasrat seksual pada anak-anak adalah tindakan yang harus dinyatakan sebagai "kekejaman" tingkat berat. Ini karena mengakibatkan kerusakan permanen pada pribadi dan pola pikir anak ketika dewasa.
Perilaku seksual pedophilia tersebut, lanjut Arif, adalah penyakit kejiwaan yang sangat merusak karena kemungkinan pelakunya melakukan atas dasar berbagai alasan, bisa dorongan seksual tak terkendali namun tak dapat menyalurkan hasrat seksualnya, dorongan karena terangsang saat melihat kejadian yang sama, atau karena pelaku pernah menjadi korban.
"Bisa juga karena pelaku merasa perbuatan tersebut tidak berdosa, tidak menyebabkan pelaku boleh atau mendapatkan keringanan hukuman. Karena pelaku seluruhnya adalah orang dewasan dan bukan anak-anak, sehingga setiap perbuatan kriminal orang dewas harus diberikan konsekuensi hukum sebagai layaknya orang dewasa," ujar Arif di Bogor, Senin (28/4).
Lebih lanjut Arif mengatakan, akhir-akhir ini perilaku pedophilia dilakukan secara bekerjasama dan berulang-ulang pada korban. Ini memberikan kesimpulan bahwa tidak adanya pengawasan terhadap anak-anak di sekolah, terutama saat pukul 10.00-11.00 WIB dimana anak sedang istirahat di sekolah.
Pelaku juga merasa sangat aman melakukan perbuatan bejatnya karena diduga karena tidak ada perubahan perilaku pada korban (anak) yang diam, maka pelaku merasa korban tidak keberatan dengan perbuatan tersebut.
"Hal ini sangat keliru, karena anak kecil memang belum mengerti tentang konsep benar dan salah," ujar Arif.
Adanya budaya permisif di sekolah, lanjut Arif, membuat pelaku pedophilia bebas untuk melakukan aksinya. Karena berdasarkan laporan salah satu media bahwa budaya barat seperti berciuman dan berpelukan adalah perilaku yang umum terjadi di sekolah.
"Toilet yang terlalu jauh buat anak usia dini yang harus ditempuh dengan berjalan kaki cukup lama juga menjadi peluang bagi pelaku pedophilia. Harusnya toilet untuk anak-anak selayaknya berada dalam jangakauan pengawasan guru, pendampingan guru, asisten guru dan tutor di kelas," ungkap Arif.
Arif menambahkan, peran semua pihak untuk mencari solusi terhadap permasalahan tersebut sangat diharapkan. Selain orang tua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pihak sekolah serta pemerintah daerah harus bersama-sama mencarikan solusi agar hal serupa tidak lagi terjadi tidak hanya di Jakarta tetapi di seluruh Indonesia.