REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemerantasan Korupsi meminta agar pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak memperbaiki sistem pajak di sektor mineral dan batu bara (minerba)
"Dalam studi KPK di sektor pajak minerba, ada banyak temuan yang didapatkan dari temuan ini kami serahkan ke Dirjen Pajak dan dalam satu bulan kita harap Ditjen Pajak sudah menyampaikan ke KPK mengenai rencana aksi sesuai temuan rekomendasi KPK ini," kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (23/4).
Dalam konferensi pers tersebut selain Adnan dihadiri juga Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, irektur Jenderal Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany dan Direktur Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK Roni Dwi Susanto.
KPK juga mengidentifikasi tujuh permasalahan pajak di sektor minerba. "Pertama belum akuratnya data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada sektor pertambangan karena dari sekitar 3.826 pemegang usaha pertambangan hampir 25 persen atau 724 pengusaha tidak punya NPWP bahkan pemegang IUP (Izin Usaha Tambang) yang statusnya 'clean and clear' tidak punya NPWP," ungkap Adnan.
Kedua, kurangnya data pendungkung khususnya data produksi karena adanya perbedaan statistik di lembaga terkait, misalnya data di Ditjen pajak minerba pada 2012 data mencapai 228 juta dolar AS, tapi data World Coal Association (WCA) mencapai 443 juta dolar AS, sedangkan data US Energy Information Administration (EIA) senilai 452 juta dolar AS.
"Ketiga adanya multitafsir penerapan aturan pengenaan pajak, inilah pokok persoalan dalam sengketa pajak," tambah Adnan.
Masalah keempat adalah keterbatasan peraturan untuk mendapatkan data eksternal perpajakan. Kelima belum optimalnya data pengelolaan permintaan data eksternal pajak.
"Keenam adalah minimnya pengawasan terhadap wajib pajak karena pemeriksa pajak hanya ada 4.000 orang yang jauh dari standar negara-negara pada umumnya," jelas Adnan.
Terakhir adalah belum optimalnya fungsi analisis potensi pajak di Ditjen Pajak. "Kondisi ini menimbulkan sejumlah persoalan yaitu pertama basis data wajib pajak tidak akurat dan kurangnya data eksternal yang dibutuhkan misalnya data pertambangan yang ada, kedua keterbatasan data pembanding yang mengakibatkan sulitnya pengawasan," jelas Adnan.
Dua maslaah lain adalah kurangnya fungsi analisis dan kapasitas terhadap wajib pajak oleh dirjen pajak serta kecurangan wajib pajak dan petugas pajak. "Saran kami adalah pertama meningkatkan basis data Wajib Pajak dan data eksternal lain yang dibutuhkan Ditjen Pajak, kedua meningkatkan mekanisme antar instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lain untuk kebutuhan data serta menyempurnakan aturan dan pedoman untuk pelaksanan fungsi dan memperkuat
fungsi analisis dan pengawasan pajak," ungkap Adnan.
Atas hasil temuan tersebut, Dirjen Pajak pengapresi kajian KPK karena dapat mencegah kerugian negara dan korupsi di masa mendatang serta dapat memperbaiki tata kelola sektor pertambangan.
"Kami memang sangat membutuhkan bantuan dan kerja sama KPK untuk memonitor rencana aksi yang kami buat sesuai hasil studi KPK karena dalam sektor pertambangan ada instansi teknis lain di pusat dan daerah," kata Fuad.