Selasa 22 Apr 2014 15:29 WIB

Pengamat: Duet Jokowi-JK Dipaksakan, Dipastikan Kalah di Pilpres

Jokowi dan istri di TPS 027, Menteng, Jakarta
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Jokowi dan istri di TPS 027, Menteng, Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Direktur Eksekutif Cyrus Network Hasan Nasbi A menilai apabila duet Joko Widodo-Jusuf Kalla dipaksakan maka orang yang seharusnya memegang otoritas tertinggi malah bisa menjadi yang kedua.

"Jokowi cocok dengan JK atas dasar apa dicocokkan, apakah mereka punya chemistry yang sama, atau orang yang seharusnya memegang otoritas tertinggi malah menjadi yang kedua," ujar Hasan Nasbi A dalam diskusi "Kawin Paksa, Hancurkan Bangsa" di Jakarta, Selasa.

Menurut Nasbi, Jusuf Kalla adalah senior yang memiliki berbagai pengalaman dalam bidang apa pun yang luar biasa. JK pernah menjadi wakil presiden, mantan Ketua Umum Partai Golkar, dan sekarang Ketua Palang Merah Indonesia.

"Orang seperti Pak JK buat saya seharusnya menjadi mentor bagi siapa pun presidennya bukan berburu jabatan, siapa pun presidennya maka JK bisa menjadi mentor bagi presiden terpilih," ujar dia.

Jadi, lanjutnya, jangan lagi ada pihak-pihak yang memaksa JK untuk berburu jabatan. Karena kalau JK kalah maka tidak dipakai lagi padahal padahal ilmunya sangat dbutuhkan bagi bangsa Indonesia. "Kalau partai A dan B koalisi dan kemudian tokoh ini terpaksa dipasangkan, apakah ini bisa adaptasi, kan belum tentu," kata dia.

Kalau dilihat dari segi karakter, Jokowi adalah orang yang suka turun ke lapangan sehingga pendampingnya itu harus berani untuk tidak muncul di lapangan yaitu berada di kantor untuk mengurusi masalah administrasi maupun keuangan.

"Kalau yang satu udah keluar maka ada satu yang di kantor jaga gawang, masalah administrasi. Untuk Jokowi, wapresnya harus ada orang yang berani untuk tidak muncul di lapangan. Kalau dua-duanya sama-sama menonjol maka itu karakternya tidak cocok," kata dia.

Selain itu, ia mengutarakan, karakter cawapres Jokowi tak mengenal kata kompromi, sedikit lebih keras yaitu menjadi benteng bagi mantan Walikota Solo tersebut di depan. "Dan juga ada karakter yang sedikit keras, tanpa kompromi, harus ada benteng di depan seperti Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)," ujar dia.

Jadi, ia mengatakan kombinasi seperti itu akan lebih berguna bagi bangsa Indonesia jangan sampai memasangkan itu Jawa dipasangkan luar Jawa, Sipil-Militer dan sebagainya. "Buat saya kombinasi seperti itu akan berguna untuk bangsa jangan sampai memasangkan itu Jawa luar Jawa, sipil militer. "Chemistry" itu nomor satu. Benar gas dan rem tapi jangan sampai gas dan rem itu tidak punya chemistry," ujar dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement