REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Soetrisno Bachir mengkritisi apa yang terjadi pada pemilu legislatif (pileg) tahun ini. Mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu menilai pada pileg kali ini masih terjadi praktik politik uang yang merusak demokrasi.
"Pemilu legislatif ini adalah pestanya para kapitalis membagi-bagi uang kepada rakyat," ujar Soetrisno, kepada awak media, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (16/4). Ia mengatakan, praktik politik uang ini terjadi di mana-mana.
Soetrisno mencontohkan ketika berkunjung ke Bali. Ia sempat berbincang dengan beberapa pegawai. Ia menanyakan pilihan para pegawai itu.
Ternyata, menurut, Soetrisno, pegawai itu memilih partai berbeda untuk calon dari DPR dan DPRD. "Loh kenapa beda-beda? Tarifnya beda-beda Pak katanya. Yang kita pilih yang tarifnya paling tinggi," ujar dia, menirukan perbincangan saat itu.
Adanya praktik politik uang ini, menurut Soetrisno, berpotensi membuka terjadinya korupsi pascapileg nanti pada calon terpilih. Terutama, ia menilai, terjadi di daerah-daerah.
Menurut dia, KPK akan semakin banyak tugas karena kejahatan rasuah menyebar. "Jadi kalau KPK hanya satu institusi ini saja tidak cukup. Harus ada di daerah-daerah karena korupsi nanti akan ada di daerah," kata dia.
Karena politik uang, Soetrisno mengatakan, hasil pileg dapat menimbulkan dampak yang negatif. Ia pun mengkhawatirkan hal serupa terjadi pada Pemilu Presiden (pilpres). Ia menilai Pilpres pun menjadi pesta para kapitalis dengan adanya para capres yang sowan pada konglomerat.
"Jadi inilah yang menurut saya tragis. Perlu ada pemikiran kembali apakah demokrasi yang kita pilih ini benar? Menurut saya salah," ujar dia.
Soetrisno mengatakan, sudah ada nama beberapa capres yang saat ini muncul. Menurut dia, harus dicermati dan dikritisi langkah-langkah dari para capres itu.
"Supaya tidak aneh-aneh. Sehingga pileg kemarin yang menghasilkan produk demokrasi pragmatis, yang transaksional, supaya di pilpres jangan sampai terulang," kata dia.